Makassar International Writers Festival 2016

Turut mengisi Makassar International Writers Festival, InterSastra menjadi moderator pada diskusi "In Translation We Believe" di Universitas Hasanuddin. Pembicara pada diskusi tersebut adalah Nury Vittachi, Aoko Matsuda, Roland Kelts, Agustinus Wibowo, Marius Hulpe, dan Eka Kurniawan. Aula Prof. Mattulada nyaris penuh terisi mahasiswa yang tertarik.

Kepada Agustinus Wibowo, kami tanyakan mengapa ia tertarik menerjemahkan sastra Cina dan tantangan-tantangan yang ia hadapi ketika menerjemahkan. Agustinus juga berbicara tentang pengalamannya ketika karyanya diterjemahkan ke bahasa Inggris.

Aoko Matsuda, seorang penulis fiksi dan penerjemah sastra, menceritakan kenikmatan yang dialaminya ketika menulis dan ketika menerjemahkan. Ia pun membagi beberapa tips dan kiat yang sering digunakannya ketika menerjemahkan.

Roland Kelts menyorot jurnal terjemahan sastra Jepang, Monkey Business, tempat ia juga menjadi editor. Karena banyak mahasiswa yang hadir mengambil jurusan sastra dan bahasa Jepang, kami tanyakan tentang kondisi penerjemahan sastra di Jepang, dan apa yang dapat mahasiswa Indonesia lakukan jika ingin menjadi penerjemah sastra Jepang.

Bersama penyair Marius Hulpe dari Jerman, kami membahas tentang penerjemahan puisi: apakah puisi hanya bisa diterjemahkan oleh seorang penyair? Mana yang ia anggap lebih penting untuk dipertahankan - makna, bunyi, rima, atau struktur? Sejauh mana keterlibatannya ketika puisinya diterjemahkan?

Ketika kami bertanya tentang suka-duka yang dialami ketika karya diterjemahkan, Marius dan Eka Kurniawan mengutarakan pengalaman mereka yang berbeda-beda. Cantik Itu Luka menemukan penerjemah, Annie Tucker, sebelum novel itu menemukan penerbit. Eka mengajukan syarat bahwa untuk mendapat izin menerjemahkan karyanya Annie mesti berjanji untuk menyelesaikan terjemahannya, baik ia mendapat dana maupun tidak. Lain lagi dengan penerjemahan Lelaki Harimau, penerbitlah yang mencarikan penerjemahnya. Eka lumayan terlibat dalam proses penerjemahan. Bahkan ketika ia tak menguasai bahasa target, misalnya bahasa Jepang, ia mengatakan bahwa ia membantu penerjemah dengan mengirim foto pohon-pohon yang ia sebut dalam bukunya. Hal itu memudahkan penerjemah melihat apa padanan nama pohon tersebut dalam bahasa Jepang.

Sanaz Fotouhi adalah seorang penulis dan produser film, ia bicara tentang peran penerjemah yang tidak terbatas pada apa yang tertera di atas kertas, tetapi juga budaya yang menjadi konteks karya tersebut. Ketika ia membuat filmnya Love Marriage in Kabul, tentang sepasang kekasih di Afghanistan, ia merasa mesti mampu membawakan kisah mereka yang sangat spesifik sedemikian sehingga dapat menyentuh dan dipahami oleh penonton di banyak negara lain.

Diskusi diakhiri dengan tanya-jawab antara mahasiswa dan para panelis.