Ritual Pemberontak
Deborah Emmanuel
Diterjemahkan oleh Eliza Vitri Handayani
Salah satu memori pertamaku adalah pindah ke apartemen Tante pada malam hari. Kurasa kami diusir dari tempat tinggal kami. Aku terbangun di sebuah kamar serba putih yang berangin, diterangi nyala obat nyamuk lingkar, ibuku bergumam di sampingku dan adikku, Sarah, untuk menenangkan kami. Kami tidur di kamar putih itu hingga aku 14 tahun. Sebelum kami masuk sekolah, aku dan Sarah senang berbaring di lantai dalam diam dan penuh perenungan, menggambar rumah impian kami. Kami tak kunjung lelah menggambar stabilitas yang hilang dari hidup kami.
Keluarga kami menghabiskan sebagian besar masa kecil dan remajaku dalam kamar tidur putih itu. Kami hanya pernah menonton drama picisan atau sepak bola bersama-sama. Ayah tak pernah mengizinkan kami menonton acara yang bagus. Aku ingin menonton The Sopranos, The Simpsons, atau South Park, tapi yang kudapat hanya Renegade dengan Lorenzo Lamas atau pertandingan Manchester United. Kami makan di depan televisi dengan alas koran supaya tak mesti membersihkan lantai setelahnya. Ibuku kadang-kadang tidur bersama kami di ranjang besar, kadang-kadang bersama ayahku di ranjang kecil. Sesekali, aku terbangun tengah malam dan menyaksikan orangtuaku berhubungan seks. Rasanya aneh, tapi aku tak mengerti mengapa.
Keadaan kami yang demikian adalah akibat keuangan keluarga yang kacau. Ayahku dipecat dari pekerjaannya sebagai insinyur aeronotika bertahun-tahun sebelumnya. Ia membuka firma konsultasi supaya dapat menentukan masa depannya sendiri. Namun, tampaknya ia tak mengerti bahwa ia juga menentukan masa depan kami. Sehari-hari ia duduk di depan komputer di rumah, menatap foto-foto perempuan. Terkadang ia mengetik dokumen atau menerima telepon dengan nada percakapan yang profesional. Sering ia membentak lawan bicaranya.
Kami ngeri melihat Ayah frustrasi. Sarah dan aku menontonnya menyiksa Ibu—secara fisik, emosional, dan finansial. Aku meringkuk dalam hati, tapi tak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Yang dapat kulakukan hanyalah menghibur adikku yang menangis tiap kali Ayah mengutuk dan menampar Ibu. Ibu tak pernah lulus SMA. Ia sering meratapi pendidikannya yang tak selesai, sebab Ayah senantiasa memanggilnya tolol. Setelah meninggalkan SMA, Ibu langsung bekerja sebagai sekretaris. Ia bekerja untuk Ayah ketika mereka hamil denganku. Mereka menikah di gereja Katolik Lady of Lourdes—itu satu-satunya gereja yang tidak menolak pernikahan tiba-tiba.
Aku bersekolah di Biara Holy Infant Jesus selama 10 tahun. Motto sekolah kami adalah “Sederhana Berbudi, Teguh Berkewajiban”. Kami berdoa dua kali sehari dan memakai celana pendek di bawah rok kami demi kesopanan. Tiap hari kami diperintahkan untuk lebih banyak berdoa, lebih keras belajar, duduk manis, dan diam. Kucoba melakukan semua itu, sebab aku ingin jadi anak baik, meskipun aku tak tertarik pada pelajaran. Tanganku mencatat dan mataku memperhatikan papan tulis, tapi benakku mengarungi samudra. Menulis dan teater terasa natural bagiku—lain halnya dengan pelajaran.
Aku senang bersaing, tapi seraya umurku bertambah sifat kompetitifku berkurang, dan aku menjadi lebih putus asa untuk dianggap keren dan disukai. Aku ingin punya pacar perempuan dan laki-laki. Aku ingin perhatian dan pujaan. Aku banyak berjungkir balik dalam gelap hingga aku bertemu Lenny pada usia 15 tahun. Ia tiga tahun lebih tua, tapi masih SMA, sebab harus mengulang setahun. Ia seorang petinju yang agresif, dan aku tertawa mendengar lelucon rasisnya. Kami berdua sangat bergairah, tapi aku berusaha tak berhubungan seks dengannya sebab Tuhan tak ingin aku berzinah. Pertama kali Lenny hendak meniduriku, aku berkata, “Kamu punya kondom?” Ia marah dan menceritakannya pada semua teman kami. Aku merasa malu sekaligus berdaya—karena jelas, dengan mengambil kendali atas kesehatan seksualku, aku telah membuatnya merasa terancam. Namun, teman-temannya tetap memandang apa yang terjadi melalui matanya: aku tak berhak mengharapkannya menghormati kebutuhanku sebagai perempuan.
Setelah mondar-mandir berabad-abad di 7-Eleven di sebelah gedung rusun HDB Lenny di Hougang, kami membeli satu kotak kondom Durex Extra Safe. Kami berjalan ke bloknya, hatiku bergetar di dadaku seperti ekor ular yang memperingatkannya akan bahaya. Kamar Lenny minimalis: kasur di lantai yang tertutup sprei kartun murahan, kipas angin plastik. Keperawananku hilang dengan tergesa-gesa, tanpa kepedulian. Setelah selesai, Lenny berguling dari tubuhku dan aku pun berpaling—menangis, penuh rasa bersalah.
Lenny dan aku tetap bersama selama setahun-setengah—merokok dan bermain musik metal dalam sebuah band tanpa nama. Aku meninggalkannya dua kali kala aku merasa gugup dan jahat. Semakin jelas kulihat ia bukan The One. Aku banyak menulis saat kami putus. Dengan konsisten kulukiskan dunia emosionalku dengan puisi dan penampilan. Barangkali perhatian yang kudapat mengalihkan pikiranku dari betapa tak bahagianya aku. Bersama teman-teman aku membentuk tim pemandu sorak dan menjadi salah satu ketuanya. Aku mendapat peran utama dalam drama perayaan ulang tahun sekolah yang ke-150. Nilai-nilaiku jelek, tapi aktivitas ekstrakurikulerku luar biasa. Lumrah, saat 16 tahun aku ingin kuliah drama dan jadi aktris.
Pada akhir masa remajaku, hutang dan kekerasan telah meretakkan keluargaku. Kami pindah dari apartemen Tante, dan kerap diusir dari satu rusun ke rusun lainnya. Kadang-kadang saudara Ayah membayar sewa untuk kami, kadang-kadang mereka tak mampu. Saat aku 17 tahun, Ibu memutuskan untuk bekerja, meninggalkan Ayah, dan mengungsikan kami ke rusun murah yang disubsidi pemerintah di Jalan Henderson. Dua ratus lima puluh dolar per bulan untuk sebuah kotak beton dengan satu tempat tidur.
Setelah Lenny, aku berkencan dengan seorang koki Malaysia yang bekerja di restoran tempatku bekerja sebagai pelayan. Lenny dan si koki punya kecenderungan pemarah dan seksis. Sepertinya aku selalu mengencani versi ayahku, tapi ada satu batas yang tak pernah kulanggar. Ketika Lenny menamparku karena aku berkata “fuck”, langsung kuputuskan hubungan kami. Kemudian aku berusaha menghindari berkencan dengan figur ayah—berganti pasangan secepat ayam goreng dihidangkan di restoran siap saji. Mereka semua korban keliaranku. Seks adalah jalan bagiku mendapatkan harga diri, yang tak kutemukan dalam kolam kotoran yang merupakan diriku. Di klab malam, aku berkeliaran dengan hak tinggi dan pantat mengintip dari bawah celana pendek, demi mengundang perhatian. Hubunganku dengan pasangan-pasanganku penuh dusta dan asa tak sampai. Kuucap cinta walau tak tahu apa artinya. Aku tak tahu bagaimana membagi apa pun kecuali tubuhku. Aku tak tahu bagaimana mesti setia, hingga aku bertemu Niklas, seorang penata rambut dari Austria.
Kami tidur bersama pada hari pertama ia memotong rambutku, dan hubungan kami pun langsung jadi rumit. Ia tak ingin berkomitmen, tapi aku merasakan cinta yang menginspirasi kesetiaan. Ia memberiku ecstasy pertama kali pada WOMAD Singapura 2006. The World of Music and Dance adalah perhelatan budaya yang mirip pesta seks, berlangsung di Fort Canning Park tiap tahun hingga dibredel—tampaknya WOMAD terlalu bohemian bagi pemerintah Singapura.
Aku tahu Singapura tidak ramah terhadap pelanggar hukum, tapi aku tak segan mengobrol dengan orang asing tentang menggunakan narkoba dan memamerkan lintingan ganja ke semua orang. Aku bangga akan pemberontakanku. Aku duduk dengan Niklas dan Yusef mengisap shabu selama berjam-jam. Komidi putar pelarianku mengaburkan hari-hari. Sepanjang usia 18-19, duniaku adalah narkoba, seks, dan melecehkan orang. Aku mendambakan bangkit meninggalkan tubuhku, memasuki lubang cacing, memusnahkan kenyataan. Niklas dan aku akhirnya mengucap selamat tnggal di terminal bus di depan Plaza Singapura. Sunyi, kikuk, seperti dua astronot melepaskan genggaman, mengambang ke kegelapan. Seminggu kemudian, aku harus meninggalkan kampus tempatku kuliah teater, karena tak sanggup membayar uang kuliah.
Aku kembali berhura-hura demi lupa. Suatu malam, aku bertemu James di Ministry of Sound di Clarke Quay. Aku telah menelan ecstasy dan saat itu merasa dingin, walaupun berdansa di antara tubuh-tubuh yang hangat berdegup-degup. Aku mengenakan jaket krem yang kupinjam dari adikku, sepatu tinggi sutra, dan kacamata hitam berbentuk bulan. Ketika aku melangkah ke ruang merokok, kurasakan mata James mengikutiku. Benakku berkabut nikmat, tapi aku selalu sadar kala ada yang memperhatikanku. Itulah salah satu dari sedikit caraku memahami harga diriku. Aku selonjor di sudut ruang merokok selama setengah jam, menonton orang-orang mabuk berdansa, sebelum James menghampiriku. Ia gelap dan langsing, nyaris lebih kecil daripadaku. Kukatakan kepadanya aku tengah syuting untuk Disney. Itu cara favoritku untuk memperkenalkan diri—aku memerankan remaja 15 tahun yang ingin jadi wartawan pada sebuah serial Disney. James dan aku bertukar nomor telepon.
Kami bertemu dua hari kemudian di kafe kesukaanku di Jalan Arab, Cafe Le Claire. Aku senang bertandang ke sana sebab mereka menawarkan shisha dan buka sampai larut malam. Kopi Turki dan kurma yang mereka suguhkan adalah yang termanis yang pernah kucicipi. James dan aku duduk bersebelahan di sofa dan mengobrol berjam-jam. Ia seorang insinyur perangkat lunak bergelar S3, dan aku pun semakin tertarik kepadanya. Aku mengagumi kepandaian. Mungkin ia dapat mengajariku sesuatu. Aku pun mengetahui ia delapan belas tahun lebih tua daripadaku. Aku tak peduli.
Setelah dua bulan, kami jatuh cinta. Kami pertama kali mengucap cinta saat berlibur tahun baru di Vietnam. Kami teler dan mengobrol hingga matahari terbit dari belakang pohon palem. Malam itu, pintu jiwa kami terbuka. Setelah itu, kami menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama. Meskipun ia jauh lebih tua, kami saling memahami. Ia mencintaiku dengan kesetiaan dan kasih sayang, lebih daripada yang layak kudapatkan. Pada tengah Januari, ia kembali ke Inggris untuk mengepak dan memindahkan hidupnya ke Singapura. Ketika ia pergi, aku menangis berhari-hari dan merasa tergelincir kembali ke hidupku yang tak stabil, sarat hura-hura dan lupa.
27 Januari 2008 aku dan beberapa kawan bersantai dengan menikmati narkoba di The Shack di Pulau Sentosa. Aku bertemu Obii dan Fasiah ketika keluar malam berbulan-bulan lalu, dan mereka menyerapku ke dalam kru pesta mereka. Kami orang-orang terakhir di The Shack. Tempat itu terlihat persis seperti julukannya—sebuah gubuk reyot. Kami bertandang di sana murni karena nostalgia. Dulu The Shack adalah klab pantai yang bernama KM8, tempat kumpul nomor satu pada hari Minggu. Di KM8 musik dan lampu disko bercampur dengan daging basah dan asin. Aku menghabiskan banyak hari Minggu di sana—mabuk, terpaut di mulut dengan berbagai model lelaki atau pria yang intens dengan dompet yang gemuk. The Shack adalah hantu KM8 yang karatan, tapi tak dapat kami lepaskan. Aku berjalan di pantai dan duduk menatap laut yang berbusa. Mungkin laut sama mabuknya seperti kami. Kemudian, kami pindah ke klab Latin Movida. Aku begitu teler, dindingnya tampak bagai gulali. Ketika sudah turun, Obii dan aku naik taksi pulang. Ia menurunkanku di depan blokku dan mencoba menciumku. Aku berpaling dan cekikikan, mengatakan sesuatu yang tak jelas tentang persahabatan dan kerumitan, kemudian kusimpan kejadian itu jauh di ruang bawah tanah otakku.
Hari Senin tanggal 28 semestinya selembut susu. Malam itu berawal sesuai rencana. Kami mulai di puri orangtua Roni, mengunci diri di kamar mandi dan mengisap ganja. Roni adalah seorang mahasiswa hukum, orangtuanya sangat kaya. Kadang-kadang ia bertanya mengapa aku tak mau tidur dengannya, tapi hanya ketika ia teler. Lebih sering kami hanya berkelakar konyol dan merokok ganja. Aku hanya mengabaikan ketika teman-teman lelakiku bilang mereka ingin tidur denganku atau menjulurkan lidah mereka ke bibirku yang terkatup. Jauh lebih mudah untuk melupakan. Dengan begitu, persahabatan kami dapat terus berlangsung. Setelah aku meninggalkan Roni, aku pergi ke Bar O di Jalan Sultan Mohamed untuk pesta techno bersama Obii dan Fasiah. Banyak malam meriah kuhabiskan di sana bersama mereka, berdansa di bawah lampu laser dengan mataku bergulir ke dalam kepalaku akibat ecstasy.
Central Narcotics Beaureau (Dinas Narkotika Pusat, CNB) meringkus kami dengan mobil van putih. Sebenarnya, mereka hendak menangkap beberapa orang lain, dan kami hanya pecundang yang tersangkut dalam jaring operasi mereka. Ketika mereka tiba, aku tengah merokok di luar. Aku menatap mereka menandak melintasi lantai dansa dengan tingkah polah pegawai yang diberdayakan pemerintah. Kurasakan beton remuk jadi abu di bawah sandalku. Mereka menyalakan semua lampu dan berteriak, “CNB!” Lampu yang terang membuat semuanya tampak lebih jelek. Rasa takut dan tahu membekukan tubuhku. Lama setelahnya, aku mengenang saat ini dengan sesal, bertanya-tanya mengapa aku tidak berlari kembali ke kegelapan Jalan Havelock dan menghadapi konsekuensinya belakangan. Aku malah duduk di trotoar beton dengan rokok tergantung lemah di jemariku, hingga salah satu petugas CNB memanggil namaku. Mereka menemukan tasku di meja. Tas kesukaanku yang tampak seperti bangkai kucing, tapi terbuat dari kulit sintetis. Kumatikan rokokku di semak-semak dan masuk ke Bar O untuk menghadapi nasib yang tak mungkin kuhindari.
Aparat CNB memintaku mengosongkan tas dan aku membuang kantung kecil pil yang sudah kutelan ketika mereka lengah. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa seperti kriminal. Mereka membawa kami ke kantor polisi Clementi dengan tangan terborgol. Tak ada yang menyinggung soal hak-hak kami atau pengacara, seperti yang kulihat di televisi. Di Singapura tidak seperti itu. Di Singapura, ketika kamu dicurigai menggunakan narkoba, aparat berhak menggeledahmu dan rumahmu tanpa surat perintah. Adalah melanggar hukum bagi seseorang untuk menolak memberi sampel urin ketika diminta. Aku melakukan sesuai perintah.
Malam itu tak nyata bagiku. Segala yang terjadi sungguh melelahkan emosiku—yang paling jelas kuingat hanyalah besi dingin melingkari pergelangan tanganku. Petugas CNB yang bernama Jean mengamatiku pipis di tempat plastik, seperti ketika di dokter. Aku ingin berbaring di kursi dan menyulam kelopak mataku tertutup selamanya. Mereka menuang urinku ke mesin yang berisik, lalu keluarlah hasilnya: mengandung THC dan MDMA. Kubilang saja seseorang memasukkan narkoba ke minumanku. Pasti mereka sudah dengar alasan itu ribuan kali, tapi raut wajah mereka tak menunjukkan apa-apa.
Aku menelepon Ibu dari kantor polisi. Kukatakan kepadanya aku dalam masalah, aku butuh ia datang untuk menebusku. Saat itu pukul dua dini hari. Saat ia menjemputku, kulihat rasa takut menggerogoti kelopak matanya. Ibuku khawatir aku mengisap ganja, tapi tak pernah melarangku, tak pernah berharap aku akan patuh dan mengubah kelakuanku. Ia perempuan yang lembut dan tak punya kendali atas jiwa remajaku yang mencari sesuatu yang hilang. Dalam perjalanan pulang di taksi, aku bungkam, masih syok dan tak kuasa menjelaskan apa yang terjadi. Selama empat minggu aku bebas berjaminan, kuhindari segala pertanyaan tentang apa yang terjadi dengan CNB. Aku pun menghindari bertanya pada diri sendiri, ingin terus menyangkal apa yang terjadi.
Waktu itu, aku tengah bekerja di sebuah hotel bintang lima. Pekerjaan palsu tanpa jiwa. Sejak menapakkan kaki di pintu pegawai, kami mesti berpura-pura tak punya kepribadian. Industri hotel mewah ingin memastikan para pegawai berperilaku sedemikian sehingga tamu-tamu kaya merasa terpisah dari 'para pelayan'.
Aku terpaksa berhenti kuliah drama karena uang, dan aku bekerja demi menabung supaya dapat kembali kuliah. Aku tidak pernah kembali. Selama tiga bulan aku bekerja di sana, kuhabiskan semua uangku untuk baju, narkoba, dan alkohol—demi mencegah diriku jadi gila. Penjara menyelamatkanku dari kehidupan sebagai resepsionis. Pilihanku saat itu adalah: penjara atau rumah sakit jiwa.
Kuhabiskan masa bebas berjaminan seperti sebelumnya: mengambang dalam dunia khayalan di mana tak ada penjara. Hal terakhir yang kulakukan adalah pergi ke pantai Cerating di Malaysia bersama Niklas. Karena sudah divonis, aku merasa tak apa membeli ganja, menceburkan diri ke mulut hangat samudra, dan mengejar armada kepiting kecil menyeberangi pasir. Wajah James yang tulus dan penuh percaya berkedip di benakku seraya aku dan Niklas makan berpiring-piring nasi lemak dan bercinta sambil teler. Cara yang lezat untuk ucapkan selamat tinggal pada kebebasan.
Penjara dalam bayanganku ternyata berdasarkan film-film Amerika—sangat berbeda dengan kenyataan penjara Singapura. Kami tidur di lantai dengan tikar memisahkan tubuh kami dari lantai. Kami diberikan satu selimut wol yang dapat kami gunakan sebagai bantal atau sebagai selimut. Napi perempuan lain berkata: pancuran berkilat yang mencuat dari dinding semen hidup dua kali sehari. Pagi hari kamu harus menampung air agar tak kekurangan hingga pancuran menyala kembali sore hari. Tiap kali pancuran menyala hanya selama dua puluh menit, kami harus memenuhi ember dengan air, lalu menggunakan lima menit masing-masing untuk mandi dan mencuci pakaian dalam. Air yang kami tampung digunakan untuk minum dan mencuci setelah menggunakan toilet jongkok. Tiap hari rutinitas kami sama saja, tiap hari kami menghadap jam tak berwajah. Kami tak pernah tahu suatu saat itu pukul berapa. Kutemukan pancuran adalah satu-satunya permukaan tempat kubisa melihat pantulan diriku. Tubuhku yang cembung di pancuran meyakinkanku aku benar-benar di sana. Pernah beberapa kali sebelumnya aku merasa seperti ini: begitu jauh dari kenyataan sehingga aku merasa barangkali kepalaku telah terbentur dan aku berada di dunia mimpi akibat gegar otak.
Hari-hari berikutnya meleburkan tidur dan tangis. Aku berbaring datar di lantai yang dingin, menatap langit-langit, berpikir tentang betapa hampanya situasiku, membayangkan tempat-tempat lain yang lebih baik. Begitu banyak rangsangan baru, tapi aku tak tahu apa yang terjadi. Aku hanya mengikuti instruksi yang mereka berikan, tak kuasa, terkulai gontai.
Beberapa napi perempuan tampaknya mengalami akibat tak lagi memakai heroin. Kemudian kutemukan mereka ternyata dulu memakai substitusi murahan yang disebut Subutex. Mereka melumerkan tablet obat dan menyuntikkannya ke nadi. Apa pun Subutex ini, para napi itu memerangi horor yang berkepanjangan. Mereka menggigil, mual, kacau tak berbentuk. Mereka ramah kepadaku, biarpun mereka menderita, dan aku berterima kasih karenanya. Mereka memberitahu kami mesti bagaimana agar sipir tak membentak. Aku benci ketika sipir membentak.
Keluargaku datang berkunjung untuk pertama kalinya beberapa hari kemudian. Anggota keluarga dapat menemui napi tanpa melompati terlalu banyak halangan. Orang lain harus melalui formalitas yang berbelit-belit. Napi boleh dikunjungi dua kali sebulan—kalau ada yang mau menemui mereka sesering itu. Awal bulan kami dapat bertemu langsung, kunjungan berikutnya melalui layar. Ibu, Sarah, dan James datang ke Changi Women's Prison untuk menjumpaiku. Ayah memutuskan tidak ikut karena ada Ibu. Ia pikir menemuiku tiap dua minggu tidak lebih baik daripada mengurus egonya yang terluka sebab Ibu meninggalkannya. Entah mengapa aku terkejut.
Kupikir segala hubunganku dengan James sudah berakhir, jadi aku sungguh terkejut melihatnya. Sudah sebulan kami tak bertemu. Dan aku telah mengkhianatinya dengan Niklas di Cerating. Kukatakan padanya melalui telepon seminggu sebelumnya, berbaring di ranjang atas di gubuk sial kami di Jalan Henderson. Ia bicara tentang betapa dingin di Inggris, dan ia tak sabar ingin kembali ke surga tropis di Singapura bersamaku. Aku merasa harus berkata jujur kepadanya. Suaranya langsung berubah seolah ia menelan beling. Rasa bersalah menenggelamkanku—ia datang dari rasa sakit yang kutimbulkan bagi James. Setelah itu, kini ia berdiri di hadapanku di kompleks penjara, tampak kesepian dan prihatin. Aku tak layak mendapatkan perhatiannya. Sungguh aneh melihat tiga orang yang kucintai melalui sekat tebal tembus pandang. Aku hanya satu napi di antara banyak lainnya hari itu, berbisik ke serpihan dunia yang dulu kami kenal melalui pengeras suara hitam yang terpasang di sekat plastik. Aku tak ingat apa yang kami bicarakan dengan mereka. Kami melantur dan saling merasa kasihan. Berapa kali pun aku minta maaf, tak terasa cukup.
Mereka tak mengizinkan orang yang diringkus bersama-sama tetap bersama-sama di penjara, maka aku dipisahkan dari Fasiah. Mereka ingin kau jadi sesendiri mungkin. Bahkan jika kami tak ditangkap bersama, tak masalah, sebab Fasiah 25 tahun dan aku 19. Napi di bawah 21 tahun dipisahkan dari napi yang lebih tua dan lebih 'korup'. Kadang-kadang aku membayangkan cerita macam apa yang akan kudengar jika aku mengobrol dengan para OP—Old Prisoner, Napi Tua—itu istilah untuk napi di atas 21 tahun. Aku YP—Young Prisoner, Napi Muda. Mereka menyuruhku memakai seragam penjara biru muda, ada label nama Deborah dan DRS-60 di bawahnya. Deborah tak penting lagi. Tak seorang pun sipir memanggilku dengan nama asli. Terlalu memanusiakan begitu. Kubujuk sipir yang tampak seperti kodok berlipstik untuk memangkas habis rambutku, sebab kalau tidak aku akan kehabisan satu batang sabun yang menjadi jatah kami selama sebulan. Lahirlah DRS-60.
Kami diperlakukan seperti binatang, dicap dengan nomor dan dikandang, dibentak dan dimaki seolah sampah. Kebanyakan sipir memasang wajah penuh cela. Ada prosedur yang mesti dipatuhi tiap kali kami berpindah bangunan penjara. Kami mesti berdiri mengangkang dan merentangkan tangan seperti manusia Vitruvius, kami berjongkok dan bangkit berulang kali supaya sipir dapat memeriksa vagina dan anus, memastikan kami tidak menyelundupkan apa-apa di sana. Itulah pengalaman yang paling memalukan yang pernah kualami. Aku segera belajar untuk kabur ke tempat lain di kepalaku.
Hari mereka memisahkanku dari Fasiah adalah awal pemenjaraanku yang sesungguhnya. Fasiah adalah hubunganku ke kenyataan pra-penjara. Mereka membuka sel dan aku masuk membawa gelas plastik tembus pandang, pasta gigi, sikat gigi, sabun, pakaian dalam—satu-satunya yang kumiliki di dimensi lain yang telah kumasuki ini. Itu dan buku tentang Kongo yang diberikan James kepadaku, yang sudah kubaca berulang kali walaupun aku tak terlalu tertarik akan topiknya. Aku tahu, begitu mereka menutup pintu di belakangku aku akan jadi sendiri untuk pertama kalinya. Aku duduk di sudut sel, kepalaku menyanyikan segala cerita yang pernah kudengar. Aku menangis diam-diam untuk melepaskan perasaan yang mencekikku dari dalam. Aku telah belajar untuk tak membiarkan napi-napi lain melihat atau mendengarku menangis.
Aku duduk di gua beton putihku. Lampu neon menatapku garang dan menyinari betapa sendirinya aku saat itu. Kemudian, seekor jangkrik terbang ke dalam sel dan mendarat di dinding di hadapanku, seperti cat pada kanvas yang sepi. Airmataku beku. Ada kehadiran lain. Awalnya aku tak yakin bagaimana memperlakukannya, lalu kuputuskan jangkrik itu betina. Membayangkannya sebagai manusia berhasil. Memberinya identitas manusia membuatku lebih mudah untuk berkomunikasi dengannya. Ia datang ke rumah baruku seraya kupikir betapa gelap dunia ketika lampu padam, hampir seolah ia tahu apa yang kubutuhkan. Aku bicara padanya sesekali, dengan lirih supaya tak ada yang mengira aku bicara sendiri. Ketika lampu mati, aku menunggunya terbang menjauh. Ia melompat ke tikar jeramiku, tepat ke sebelah kepalaku, mengucapkan selamat tinggal.
Isolasiku terasa berbulan-bulan, meskipun hanya beberapa minggu. Mereka melakukan ini ke napi baru untuk berjaga-jaga kalau masih ada narkotika di tubuh mereka, atau karena tidak ada cukup napi untuk berbagi sel. Pada saat itu, aku belajar menghargai keindahan dunia luar, walau aku tak merasa bagian darinya. Ketika otak kekurangan rangsangan, perubahan sekecil apa pun di lingkungan menarik perhatian. Rangsangan kesukaanku adalah bau hujan, juga bau rumput yang baru dipotong. Ada celah di atas dinding sel belakang, dindingnya tidak rapat bertemu atap. Kulihat sepotong langit. Kutatap potongan langit itu. Kuberjalan mondar-mandir di sel hingga sipir menyuruhku berhenti. Berolahraga melanggar peraturan. Berdasarkan gosip yang kudengar, olahraga dilarang karena kami bisa jadi menyakiti diri sendiri. Kupikir, lebih masuk akal karena mereka tak ingin kami jadi terlalu kuat.
Suatu sore setelah makan siang, aku duduk di sel menatap langit-langit, dan sebuah suara menembus khayalanku. “Halo... Haaaalllloooo...” Aku duduk tegak dan menoleh ke sekeliling dengan panik. Suara itu terus mengucap halo. Kuberdeham untuk melegakan tenggorokan karena tak berbicara berhari-hari. “Hai.” Suara itu membalas, “Halo, siapa namamu?” Aku terperanjat—sudah lama aku tak bercakap-cakap dengan normal. “Namaku Deborah.” Ia menjawab, “Aku Dash.” Dash dan aku berbagi cerita dengan lirih. Ia dari sekolah Kristen perempuan yang ternama—terletak di sebelah flat tempat tinggal kakek-nenekku. Sekolah itu tersohor karena memiliki seragam yang luar biasa jelek. Kuceritakan kepadanya tentang pendidikan biaraku, aku merasa telah menemukan seseorang yang mengerti seperti apa hidupku. Nyaman rasanya. Aku sendiri, tapi tidak sendiri.
Suatu hari, aku dibawa untuk kunjungan keluarga dan berpapasan dengan seorang napi lain di koridor. Seorang butch kurus keturunan India. Mata kami bertumbuk ketika berpapasan. Aku tertarik kepadanya setelah itu—mungkin sekadar kebutuhanku untuk merasakan keintiman. Pertemuan kami mengubah sesuatu. Aku nyaris berharap ia tetap suara tanpa nama, mengambang dari kesunyian.
Dash dan aku melanjutkan percakapan rutin kami sebelum sarapan. Makan pagi di penjara terdiri dari dua helai roti putih dioles tipis dengan mentega, dan selai warna pink atau ungu mengilap. Selai itu sebenarnya gula berperisa sintetis. Aku suka yang pink sebab rasanya seperti gulali. Yang ungu rasanya seperti Fanta anggur yang gagal. Disajikan dengan air berperisa teh atau kopi. Kurasa minumannya tanpa kafein, tapi aku tetap mendengung dan merasa terangsang tiap habis sarapan. Pasti karena gula.
Makan siang berupa nasi putih dengan tahu dan kol atau bihun rebus. Makan malam: nasi putih dengan ayam pedas atau sardin, dan tumis sayuran. Dua jam setelah makan, Dash dan aku sudah kelaparan menunggu giliran makan yang berikut. Sungguh siksa mencoba mengalihkan perhatian dari aroma yang merembes dari kotak-kotak plastik berisi makanan ditumpuk di belakang pintu. Tak terhitung berapa kali kami bercakap-cakap tentang apa yang akan kami makan begitu bebas, dan betapa nikmatnya mengisap rokok dan menenggak wiski setelah makan. Sejujurnya, jatah makananku sering tak kuhabiskan. Beratku turun drastis—rasanya nikmat—salah satu hal yang dapat kukendalikan. Rasanya seperti pemurnian, seperti menggosok tubuhku bersih dari sosokku yang menjijikkan. Aku benci diri sendiri. Aku tak dapat sirna lebih cepat.
Aku belajar tentang kemanusiaan dengan berteman dengan banyak perempuan yang tak pernah kusangka akan kukenal dengan baik. Mereka disebut 'sampah masyarakat' oleh banyak orang: dropout, pengedar narkoba, perempuan malam. Bahkan para sipir mengejutkanku dengan kemanusiaan mereka. Sipir yang bernama Ratina kasar tapi bijak. Bibirnya selalu datar dan ketus, tapi ada tawa di matanya yang ia pikir dapat ia sembunyikan. Ia biasanya ramah kepadaku karena betapa seringnya aku minta maaf karena aku ada. Tiap kali ia mengangkat jendela selku, aku sedang melingkar mengelilingi sebuah buku, atau meringkuk sendiri seperti bunga layu. Aku mendambakan restunya, aku mati-matian meyakinkannya bahwa penjara takkan jadi cara hidupku, walau kami hanya berbicara dua kali. Ia bertanya berulang-ulang, “Kamu akan masuk lagi?” Banyak sipir menanyakan hal ini, seolah hanya napi sendiri yang bertanggung jawab atas ketakmampuannya meninggalkan siklus penjara begitu ia dijebloskan ke dalamnya.
Penjara membuatku merasa sia-sia, dan aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaan para perempuan yang tak punya keluarga yang mencintai mereka, atau pasangan yang meyakinkan mereka bahwa mereka bukan tak berguna dan bukan sepotong kotoran. Paruh awal 2013, tujuh puluh persen pengguna narkoba yang mendekam di penjara sudah dikurung untuk minimal kedua kalinya. Bagiku, penjara adalah cara untuk mengasingkan dari mata publik orang-orang yang dianggap menodai masyarakat. Semua teman satu selku di bawah dua puluh satu tahun. Semua pengguna narkoba diberi Drug Rehabilitation Sentence (Vonis Rehabilitasi Narkoba, DRS), atau dikirim ke Pusat Rehabilitasi Narkoba (Drug Rehabilitation Center), dalam kasusku Changi Women’s Prison (Penjara Perempuan Changi). Mayoritas napi keturunan Melayu. Selama aku di penjara, tujuh dari sebelas teman satu selku keturunan Melayu. Ini jelas tak proporsional, sebab orang keturunan Melayu hanya tiga belas persen dari total populasi Singapura.
Dari segi tempat ada tiga tahap rehabilitasi, dan dari segi program ada empat tahap. Tiga tahap tempat: in-care (perawatan di tempat), halfway care (perawatan separuh jalan, kalau kau bisa mendapatkannya), dan aftercare (perawatan pasca-program). Lucu, tak ada aspek “perawatan” di penjara. Paling dekat adalah terapi kelompok, tapi hanya beberapa jam per sesi selama sepuluh minggu. Empat tahap program adalah: Admission—kami menggambar peta personal menuju kesembuhan, berdasarkan kebutuhan individu. Deterrence—kami dimasukkan ke kehidupan penjara yang tangguh dan pada suatu titik merasa cukup takut hingga tak mau kembali. Treatment—kami dimasukkan ke suatu program seperti tahanan rumah, halfway house, atau bekerja di penjara, tergantung tempat yang tersedia dan kebutuhan (sebenarnya, lebih keistimewaan daripada kebutuhan, sebab hanya napi yang memiliki keluarga utuh dan tradisional, dengan penghasilan kelas menengah, yang boleh menjalani treatment sebagai tahanan rumah). Pre-Release—kami melakukan aktivitas seperti duduk bersama para relawan yang mengenakan kaus kuning dan bareng-bareng menyanyikan lagu Britney Spears "Stronger".
Para sipir memberitahuku bila aku bersikap baik, aku bisa dibebaskan lebih awal. Hukumanku setahun, tapi napi bisa jadi dibebaskan berbulan-bulan lebih awal. Teman satu sel selalu punya cerita tentang orang yang keluar sebelum masa hukumannya usai. Mereka melanjutkan program sebagai tahanan rumah. Tahanan rumah terdengar seperti karnaval dibandingkan dengan penjara.
Dulu, ketika mereka mengatakan aku divonis rehabilitasi narkoba, aku tak tahu harus membayangkan apa... tetapi yang kubayangkan bukan yang diberikan kepadaku. Segala bayanganku tentang rehabilitasi melibatkan warna dan perhatian. Sekelompok orang duduk di ruangan melukis hidup baru mereka yang bebas dari narkoba, gambar-gambar penuh motivasi memenuhi dinding. Nyatanya, terapi kelompok bertempat di ruang beton steril. Jendela adalah satu-satunya rehat dari keabu-abuan yang mengepung kami. Pada sesi ini, kami duduk membentuk lingkaran dan bicara tentang bagaimana mencegah diri dari menggunakan narkoba lagi. Kami bicara tentang pemicu, sejarah kami, pola hidup kami. Strategi yang digunakan untuk pengguna segala macam narkoba sama saja—baik yang mengalami ketergantungan fisik pada heroin maupun yang sesekali menggunakan ecstasy atau ganja.
Terapis kami bernama Charmaine. Aku tahu air muka tenangnya dibuat-buat, tapi aku suka padanya. Ia bilang, cara terbaik menghindari kembali terjerumus adalah menjauhi segala tempat dan orang di mana dan dengan siapa kami memakai narkoba. Kedengaran konyol bagiku. Kebanyakan kami seumur hidup tinggal di rusun bersubsidi. Lingkungan kami ya itu-itu juga. Bagaimana mungkin kami mencerabut akar kami dari masa lalu? Butuh tekad yang ekstrim atau sistem dukungan sosial yang menyeluruh. Kebanyakan perempuan yang kukenal di program narkoba tak memiliki tujuan hidup dan sendirian, tanpa keluarga yang mencintai mereka dan memaafkan mereka tanpa syarat. Yang mereka butuhkan adalah perawatan, bukan hukuman. Mereka butuh diperlakukan seolah mereka punya nilai, sehingga mereka dapat percaya pada diri sendiri dan masa depan, bukan pada kenikmatan sesaat. Masalahnya, kebanyakan kelompok masyarakat lebih suka menghukum orang yang hidup tidak berdasarkan peraturan mereka, bukannya membimbing mereka untuk menyadari bagaimana keputusan mereka memengaruhi orang lain.
Satu hal lagi yang membuatku terus hidup selain terapi adalah kunjungan keluarga. Bersamaan, mereka memberiku inspirasi dan membuatku sedih. Aku selalu melangkah pergi dengan wajah berbinar setelah menjumpai orang-orang yang kucintai, tak sabar menanti kala masa kurungan ini usai. Adikku datang tiap dua minggu dengan entah Ayah atau Ibu, biasanya James ikut serta. Suatu ketika, Sarah, James, dan Ibu membawa berita bahwa adik sahabatku Sheila meninggal. Adiknya belajar kedokteran di Melbourne. Entah mengapa ia mengalami serangan jantung ketika ice-skating. Airmata menetes di pipiku—tapi aku tidak tahu untuk siapa aku menangis. Mungkin untuk kehidupanku yang hilang atau kehidupannya. Empati bukan bagian jiwaku yang kuat ketika itu. Minggu berikutnya, James merelakan tempatnya untuk Sheila—ia tengah kembali dari kuliah di luar negeri dan meluangkan waktu mengunjungiku. Kutampilkan wajahku yang paling ceria. Kami tertawa berseri-seri. Kami tidak bicara tentang duka. Kami pura-pura tak berada di penjara. Sekejap kini, sekejap nanti, aku percaya.
18 Agustus 2008 aku dipindahkan dari Changi Women's Prison ke The Turning Point halfway house. Seorang napi lain, Aya, kembali masuk penjara seraya aku keluar. Ia dilepaskan sebulan sebelumnya, setelah kami mengucapkan selamat tinggal dengan separuh sedih. Aku melihatnya di kotak transisi beton pada hari aku dilepaskan. Kotak beton itu ruang pertama dan terakhir yang dilihat napi ketika memasuki dan meninggalkan penjara. Kami saling menatap dari sisi yang berbeda dan paham nilai kami sama—satu lagi tambahan ke kuota CNB. Sebuah percakapan dari masa lalu berputar sunyi di kepalaku. Aya bilang ia tidak tahu apakah ia akan masuk penjara lagi. Ia pikir heroin tidak terlalu buruk. Dengan penuh rindu ia membayangkan kenikmatan heroin cair kembali membanjiri tubuhnya. Saat itu aku mengerti: kebebasan bagiku berada di luar penjara, tapi banyak perempuan seperti Aya yang merasa paling bebas di dalam penjara. Di penjara, ia punya tempat untuk tidur, ia mendapat makanan, dan tak seorang pun dapat menghancurkannya. Tiap-tiap orang punya penjara masing-masing.
Meninggalkan penjara terasa bagai anti-klimaks. Aku membayangkan ada paduan suara menyanyi di kepalaku atau kupu-kupu mendarat di bahuku—tak satu pun hal seperti itu terjadi.
Menoleh kembali bertahun-tahun kemudian, kusadari sistem penjara hanya mengembangbiakkan rasa sakit dan tidak mendukung penyembuhan. Kalau ada yang bertanya, mengapa tampaknya penjara mendorong jalan hidupku menjadi lebih baik, aku menjawab: karena aku dari keluarga yang berkecukupan, dan aku berpendidikan. Aku tak pernah tampak seperti seseorang yang pernah dipenjara. Bahasa ibuku bahasa Inggris, sesuatu yang mengesankan banyak orang dalam masyarakat pasca-kolonial. Aku punya keluarga dan teman-teman yang mencintaiku dan mendukungku tanpa syarat begitu aku dibebaskan. Tak banyak perempuan yang kutemui di penjara memiliki hal-hal itu.
Itulah mengapa aku menulis tentang pengalamanku: itulah caraku mempertanyakan secara langsung sebuah sistem yang tampaknya tak tertarik membantu orang lain untuk tumbuh, sebagaimana aku telah tumbuh.
Kukatakan sekali lagi: cinta adalah caranya, bukan penjara. Cinta tak pernah gagal.
© Deborah Emmanuel
Terjemahan bahasa Indonesia © Eliza Vitri Handayani
DEBORAH EMMANUEL adakah penulis dan penyair dari Singapura. Ia empat kali menjadi pembicara TEDx. Ia telah tampil di Singapore Writers' Festival, Bali Emerging Writers Festival, dan Queensland Poetry Festival. Ia pendiri SPEAK., acara puisi bulanan yang menampilkan suara-suara lokal dan internasional. Ia pun sering mengadakan lokakarya menulis dan teater. Ia bermain musik dengan Wobology, juga berakting di panggung dan layar lebar. Buku kumpulan sajaknya, When I Giggle in My Sleep, diterbitkan Red Wheelbarrow Books pada 2015. Nukilan di atas dipetik dan diterjemahkan, dengan seizin penulis, dari buku memoarnya, Rebel Rites, yang diterbitkan Cosmic Grasshopper Press pada 2016.
ELIZA VITRI HANDAYANI penulis novel From Now On Everything Will Be Different. Ia telah meluncurkan dan menerbitkan karya di Indonesia dan luar negeri.
Terjemahan ini adalah bagian dari koleksi Oleh-oleh Sastra, yaitu terjemahan karya penulis yang kami anggap luar biasa dan yang kami jumpai dalam pengembaraan kami. Daftar lengkap seri Oleh-oleh Sastra bisa dilihat di sini. InterSastra menjumpai Deborah pada Makassar International Writers Festival 2016, kami langsung terpesona oleh penampilannya yang dahsyat dan kata-katanya yang memukau.