Frankfurt Book Fair 2014
Pada 9-11 Oktober lalu saya menghadiri Frankfurt Book Fair 2014 atas undangan FBF yang memberikan saya tiket masuk sekaligus mengundang saya menghadiri pertemuan institusi pendana penerjemahan.
Begitu menembus gerbang masuk, saya hanyut dalam gelombang langkah-langkah bergegas dan wajah-wajah penuh konsentrasi. Ternyata lebih luas daripada bayangan saya—koridor-koridor panjang menghubungkan gedung demi gedung, stan-stan berhimpit memenuhi aula, panggung-panggung bersaing memancing perhatian. Hutan belantara yang pohon-pohonnya sudah disulap jadi brosur, poster, dan buku aneka warna, genre, dan kualitas.
Saya tiba Kamis sore dan langsung menuju pertemuan pertama saya, Emerging Translators Network, sebuah komunitas daring khusus untuk penerjemah awal karier. Di sana kami bertukar informasi dan tips seputar kesempatan menerjemahkan sastra dari berbagai bahasa, negara mana yang menyediakan subsidi dan untuk genre apa saja, serta penerbit mana yang ingin menerbitkan sastra terjemahan.
Hari Jumat pagi saya melihat-lihat area khusus agen sastra. Ternyata area ini tertutup bagi umum, hanya terbuka bagi yang sudah bikin janji. Kabar baiknya, siapa saja bisa buat janji dengan agen-agen yang hadir melalui situsweb FBF. Ini penting diketahui bagi penulis Indonesia yang ingin memasarkan karyanya bila mereka hadir di FBF tahun depan.
Kemudian, saya mampir ke paviliun Finlandia, tamu kehormatan tahun ini. Di depan gerbang paviliun ada semacam beranda tempat pengunjung bisa duduk-duduk dan membaca-baca tentang buku-buku dan acara-acara yang ditawarkan. Di dalam sengaja dibuat remang-remang, namun lega dan sejuk. Paviliun yang luas dibagi menjadi beberapa lingkar area yang menawarkan kegiatan masing-masing. Lingkar area terbesar memajang buku-buku terpilih di luar dan menawarkan bangku baca di dalam. Buku-buku dipajang berdasarkan jenis dan genre, lengkap dengan pembatas buku yang diletakkan di halaman yang dinilai paling menggugah minat. Indonesia bisa petik inspirasi dari cara pajang ini. Lingkar area lain didedikasikan pada puisi—pengunjung mengantri untuk mengenakan sebuah alat yang membaca pikiran kita dan mengubahnya jadi puisi di atas layar. Keren, bukan? Sebuah lingkar area adalah panggung tempat penulis membacakan karya atau berbincang-bincang dengan moderator dan hadirin. Di sudut ada kafe yang menyuguhkan makanan khas Finlandia, lengkap dengan kursi-kursi yang menghadap ke sebuah meja-rak yang juga memajang buku-buku pilihan.
Sore harinya saya menghabiskan waktu di stan Indonesia yang lumayan luas. Rak kayu kotak-kotak memajang buku-buku andalan, ada juga tiga baris bangku tempat penonton bisa nongkrong mendengarkan diskusi atau pembacaan karya yang berlangsung. Di sini saya sempat menyapa kontingen resmi Indonesia, termasuk para penulis, pekerja budaya, dan kawan-kawan dari berbagai penerbit. Saya diberitahu banyak rekan muda ikut serta dalam program pelatihan pemasaran international—intinya pekerja penerbitan Indonesia diberi materi dan bimbingan supaya bisa memasarkan buku-buku mereka ke penerbit manca negara. Kedengarannya program yang baik, siapa tahu dengan melebarnya pasar incaran penerbit kita, kualitas buku-buku yang diterbitkan juga akan membaik, sebab isinya juga mesti dapat dipertanggungjawabkan secara internasional. Semoga juga membuat penulis dan penerjemah semakin peduli hak cipta, karena hanya dengan memiliki dan mempertahankan hak cipta mereka bisa mendapat keuntungan dari pemasaran karya mereka ke luar negeri. Semoga dengan begini kita menyadari hak cipta sebagai sesuatu yang melindungi dan menguntungkan, bukan sesuatu yang merepotkan.
Sebelum pulang saya menghadiri resepsi bagi badan-badan penerjemahan sastra, yang dibuka dengan diskusi “Travel agencies for literature - international cooperation between translation funding organisations.” Holger Fock dari CEATL (European Council of Literary Translators' Associations) membeberkan laporannya tentang penerjemahan sastra di Eropa. Diskusi ini membuahkan ide untuk inisiatif InterSastra berikutnya, yaitu menyediakan sebuah ‘model kontrak’ bagi penerjemah sastra. Model kontrak ini nantinya akan bisa dipakai oleh penerjermah sastra dalam menegosiasikan kontrak mereka dengan penerbit.
Satu hal yang mengejutkan saya dalam diskusi itu: di masa depan penerjemah di Eropa akan semakin tergantung pada dana publik supaya bisa terus hidup dan berkarya dengan optimal, sebab harga buku akan ditekan lebih rendah, sehingga penerbit takkan punya uang untuk membayar penerjemah. Maka, mereka harapkan penerjemah menjadi seperti wirausaha yang pandai menawarkan jasa atau menjual terjemahan mereka sebagai basis karya baru (seperti film atau pementasan), tapi hal ini hanya mungkin apabila penerjemah memiliki hak cipta atas karya mereka. Perhatikan, penerjemah Indonesia!
Hari Sabtu pagi saya menemui salah satu direktur Words Without Borders. Sebagai salah satu organisasi inspirasi bagi InterSastra, saya sangat senang mendapat kesempatan bertukar pikiran dengan beliau dan meminta nasihat untuk mengembangkan InterSastra.
Saat makan siang saya memenuhi undangan menemui Goldpheasant Network, yaitu jaringan institusi pendana penerjemahan sastra Eropa. Di sana saya berbincang dan bertukar kartu nama dengan perwakilan organisasi dari selusin lebih negara Eropa, saya memperkenalkan InterSastra serta ide merintis pertukaran penerjemahan antara Indonesia dan Eropa untuk mendorong penerjemahan langsung sastra Indonesia ke bahasa-bahasa Eropa dan sebaliknya. Dalam pertemuan ini juga, perwakilan kontingen Indonesia menyampaikan program subsidi penerjemahan sastra Indonesia.
Di sela-sela pertemuan, saya sempat mengunjungi macam-macam institusi pendana penerjemahan sastra dan mengambil brosur yang menjelaskan prosedur permohonan dana. InterSastra akan butuh bekerja sama dengan mereka kelak. Tak lupa mengunjungi stan penerbit Marjin Kiri yang menjadi penerbit undangan FBF dari Indonesia tahun ini. Terbuka bagi penerbit kecil, FBF memberi tiket, akomodasi, serta lokakarya seminggu tentang bagaimana memasarkan buku-buku mereka di FBF.
Pertemuan terakhir saya adalah dengan Literature Across Frontier, sekali lagi saya menelusuri kemungkinan mengadakan pertukaran penerjemah antara Indonesia dan Eropa, menerbitkan buku-buku sastra dari Eropa di Indonesia, juga sastra Indonesia melalui LAF.
Kunjungan saya ke FBF membuat jelas kepada saya skala industri perbukuan dunia. Sebagai penulis, ia menginspirasi saya untuk jadi lebih luar biasa. Sebagai pemimpin InterSastra, untuk menyusun prioritas dengan lebih realistis, memusatkan kerja kami pada tempat-tempat di mana kami paling bisa memberi manfaat, dan mengingatkan kami agar terus menikmati kerja kami. Jalan yang InterSastra mesti tempuh masih panjang untuk mengukuhkan diri sebagai salah satu instituti penerjemahan yang diakui, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, kini saya punya bayangan lebih jelas akan jalan itu.