Pengalaman Lokakarya Penerjemahan Sastra 2012

MENGEKSPOR MODEL BCLT SUMMER SCHOOL

David Colmer

Terjemahan Dina Begum

Ketika diminta untuk memimpin kelompok penerjemah bahasa Belanda ke bahasa Inggris di BCLT Summer School di Norwich, lalu membawa lokakarya itu ke Jakarta pada saat Eropa sedang musim gugur, saya langsung menyambar kesempatan itu, bukan karena ingin berjalan-jalan, melainkan karena Indonesia adalah negara “asing” pertama yang saya kunjungi, dan bahasa Indonesia merupakan bahasa asing pertama yang berusaha saya pelajari (saya tidak menganggap Selandia Baru sebagai negara asing, dan menurut saya belajar bahasa Prancis di SMA jelas-jelas bukan “usaha”.) Walaupun tidak perlu bisa berbahasa Indonesia, saya pikir ini saat yang tepat untuk menghidupkan kembali bahasa Indonesia dasar yang saya pakai dua puluh lima tahun yang lalu dan mulai merevisinya, menggunakan buku panduan pemula yang diterbitkan sudah lama sekali, bahkan ketika saya membelinya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu.

Format pelatihan di Norwich sederhana, bahkan tujuannya hanya satu: dipandu oleh seorang penerjemah berpengalaman yang secara eksplisit telah diberi instruksi untuk menahan diri dari memaksakan pandangan atau selera penerjemahanya, sekelompok penerjemah menggarap penerjemahan konsensus dengan berkonsultasi dengan penulis. Awalnya saya ragu-ragu, tapi ternyata format ini berhasil lebih baik daripada yang saya bayangkan. Rencana untuk Jakarta yaitu membawa hasil terjemahan tersebut dan mengulangi latihan itu bersama sekelompok penerjemah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, dipimpin oleh seorang penerjemah Indonesia yang berpengalaman, dan berkonsultasi dengan penulis serta pemimpin kelompok di Norwich. Situasi kelompok bahasa Belanda-Indonesia dibuat rumit dengan penambahan kelompok kedua, yang bekerja langsung dari bahasa Belanda.

Subversi pertama saya adalah menyuntikkan pandangan dan selera saya dengan menulis ulang penerjemahan konsensus. Mohon ini jangan dilihat sebagai kurangnya kepercayaan saya terhadap para peserta di Norwich, ini hanya wujud tanggung jawab saya karena di Jakarta saya akan diminta untuk menjelaskan dan memberikan alasan terhadap pilihan penerjemahan. Saya merasa hanya bisa melakukannya dengan benar jika terjemahan itu merupakan pilihan saya sendiri. Saya juga melihat bahwa konsekuensi dari penerjemahan konsensus adalah ada gerakan konsisten yang menjauhi aslinya. Dengan tujuh penerjemah yang menyuarakan keberatan tentang kelancaran aliran atau kealamian frasa tertentu, sepertinya ada kecenderungan untuk sepakat pada formulasi “bahasa Inggris asli.” Misalnya, menolak “[looking for a parking space] Tony drove round and round hoping someone might leave” yang harfiah dan memilih “waiting for someone to leave” yang lebih umum. Dalam penelaahan saya sendiri, mau tidak mau saya merasa bahwa kata “hoping” mengungkapkan keadaan pikiran si tokoh utama secara lebih baik. Saya juga merasa bahwa perbandingan yang tak terelakkan antara penerjemahan melalui bahasa perantara (beranting) dan penerjemahan langsung akan menjadi lebih menarik jika sumber terjemahan untuk kelompok penerjemahan beranting tidak banyak dipengaruhi oleh kompromi pengambilan keputusan konsensus.

Karena sudah berani campur tangan tanpa izin, saya juga menerjemahkan nukilan tambahan dengan konsultasi minimal dengan penulisnya, Gustaf Peek. Nukilan ini sudah direncanakan di Norwich, tapi tidak tersentuh karena keterbatasan waktu. Alasan saya menyertakannya sekarang yaitu: nukilan ini berlatar di Indonesia, oleh karena itu menarik bagi pembaca dan penerjemah Indonesia. Membawa karya sastra pulang dalam penerjemahan merupakan tantangan tambahan, membutuhkan dialog otentik, misalnya, yang benar-benar terjadi di daerah, kelas, dan latar belakang karakter tersebut. Dalam hal ini penerjemahan perlu memuaskan standar yang lebih teliti daripada aslinya. Respons antusias kelompok dan penampilan yang menggetarkan dari nukilan ini pada presentasi akhir membenarkan keputusan kedua saya mengikutkan nukilan tersebut.

Kelompok bahasa Belanda-Inggris-Indonesia beruntung dipimpin oleh Anton Kurnia, penulis, editor dan penerjemah lebih daripada empat puluh buku, termasuk karya Nabokov dan Rushdie. Gustaaf membagi waktunya antara kelompok penerjemahan langsung dengan penerjemahan beranting, dan saya duduk mendampingi Anton untuk menjawab pertanyaan tentang versi bahasa Inggris. Anton dan para peserta mendiskusikan teks dan kemungkinan penerjemahan dalam bahasa Indonesia, dan saya senang karena secara umum dapat mengikuti intisari percakapan. Banyak topik diskusi yang terasa sudah tidak asing lagi walaupun ada perbedaan bahasa. Misalnya, ketidakefisienan yang membuat Budi memicu gelak tawa karena mengomentari pilihan Rere terhadap kalimat pertama sebagai “pilihan kalau dibayar per kata”! Kalimat pilihannya sendiri menderita penolakan, dengan kata “sulit” digunakan dalam penerjemahan “couldn’t find anywhere to park” (sama sekali tak bisa menemukan tempat untuk parkir).

Bahasa Indonesia dibangun dari kata-kata dasar yang membutuhkan awalan atau akhiran untuk mengubah bentuk dan makna, dan sebagian besar diskusi tampak berkisar pada menemukan bentuk yang seimbang antara kelancaran dan formalitas. Bagi penerjemah Inggris, diskusi tersebut mungkin setara dengan tentang kepatutan kata-kata yang sangat berbeda.

Ciri khas lain Bahasa Indonesia yaitu adanya kesenjangan yang sangat besar antara bahasa informal lisan dengan bahasa formal tertulis. Ini berarti banyak keleluasaan untuk membuat narasi menjadi lebih dekat dengan bahasa sehari-hari tanpa menodai perbedaan dengan dialog. Memilih kata seperti “tak” dan bukannya “tidak”, misalnya. Diskusi ini mengingatkan saya akan isu abadi “to contract or not to contract” (misalnya “I would have” menjadi “I would’ve”), masalah yang muncul beberapa kali di Norwich.

Perbedaan budaya timbul dan diperlukan kehati-hatian untuk memastikan para pembaca Indonesia membayangkan adegan dengan tepat: “tempat untuk parkir” dan bukannya “tempat parkir”, misalnya, (“place to park” bukannya “parking place”), karena yang kedua akan membuat pembaca membayangkan gedung atau lapangan parkir, bukannya sebuah jalan dengan mobil-mobil diparkir di kedua sisinya. Terkadang konteks tambahan terbukti esensial. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, jenis kelamin keluarga kandung tidak terlalu penting secara linguistik dibandingkan dengan usia relatif mereka, jadi haruskah mereka menerjemahkan “sister” sebagai “adik” atau “kakak”? Itu membutuhkan pencarian cepat dalam buku berbahasa Belanda untuk menemukan informasi yang tidak ada di dalam nukilan.

Menulis tentang negara asing lalu punya nyali membawa tulisan itu ke negara tersebut menjamin adanya pembaca kritis, dan sebagian dari peserta mempertanyakan keakuratan sejarah grafiti yang disebutkan di dalam nukilan. Di sini saya gagal total dalam menjalankan tugas sebagai perwakilan penulis, tapi untungnya Gustaaf segera datang untuk menjelaskan bahwa di dalam nukilan ini ia sedang mengacu ke suasana menjelang kerusuhan anti-Cina pada tahun 1998, dan bukannya pada saat kejadian kerusuhan itu sendiri, ketika grafiti terbatas pada coretan yang menandai sasaran atau coretan yang dituliskan oleh pemilik toko, yang menyatakan diri mereka, tak peduli apa suku dan agamanya, sebagai pribumi Muslim.

Masih banyak yang bisa diceritakan, tapi tempat terbatas, dan yang paling utama adalah antusiasme dan komitmen para peserta Indonesia sama dengan respons yang saya saksikan di Norwich. Tujuan yang lebih luas dari lokakarya ini yaitu meluncurkan sebuah kampanye untuk mendirikan organisasi serupa BCLT di Indonesia yang mempromosikan, meningkatkan kualitas, dan memajukan penerjemahan sastra di Indonesia. Dari sudut pandang saya, minggu ini mustahil bisa lebih sukses lagi, baik dalam hal menunjukkan apa yang dapat dilakukan atau dalam hal menyemai benih kelompok penerjemah untuk bekerjasama.


BCLT SUMMER SCHOOL 2012 PLUS

Kari Dickson

Terjemahan Barokah Ruziati

NORWICH

Kampus yang rimbun. Banyak mahasiswa Italia. Jalan kaki. Kelinci-kelinci.

Senangnya, tahun ini musim panas bertepatan dengan BCLT Summer School, dan di setiap waktu luang, kopi, makanan serta percakapan tumpah ruah ke undak-undakan di luar. Duduk-duduk di undakan, baik saat makan siang, atau pada petang hari sambil minum bir, atau ketika menunggu di luar perpustakaan Norwich, adalah salah satu kenangan paling berkesan.

Karena ini pertama kalinya saya akan memimpin lokakarya selama empat hari, perasaan saya cukup waswas. Dan saya bisa dibilang tidak kenal siapa pun. Ketika orang-orang mulai berkumpul, saya berkeliling, berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan ide dari mereka yang sudah pernah memandu lokakarya ini sebelumnya. Saya bertemu Kjersti, penulis Norwegia yang akan kami terjemahkan, untuk pertama kalinya, dan jujur saja, kami berdua tampaknya sama-sama kebingungan. Saya kaget juga menyadari saya tidak kenal seorang pun peserta lokakarya Norwegia, karena komunitas ini relatif terbatas, walaupun saya pernah bertemu salah seorang di antara mereka. Tapi ternyata saya tak perlu khawatir. Kelompok kami amat seimbang dan mereka begitu bersemangat untuk bekerja, berbagi dan belajar, sementara Kjersti adalah penulis yang murah hati serta terbuka. Tapi dia tahu apa yang dia inginkan dan sesekali mendesak kami untuk mencari solusi yang lebih baik, dengan sabar menjelaskan apa yang berusaha dia sampaikan.

Kami mulai menggarap naskah dan diskusi besar pertama kami muncul di baris pertama: bagaimana menuliskan bunyi lonceng sapi, mengingat bunyi itu belakangan diketahui sebagai bunyi kawat di tiang-tiang bendera. Kjersti menggunakan banyak kata benda gabungan yang tak biasa, akibatnya ada banyak kata-kata sulit serta referensi budaya yang harus dibongkar dan dikemas ulang. Para peserta bekerja keras, awalnya sebagai satu kelompok, kemudian terpecah menjadi kelompok-kelompok beranggotakan dua atau tiga orang. Setiap sore, kami membahas pekerjaan yang telah dibuat dalam diskusi pleno untuk memperoleh konsensus.

Pada Rabu sore kelompok kami kedatangan Erica Jarnes, dari Bloomsbury, yang membedah naskah terjemahan itu bersama kami dari sudut pandang seorang editor. Saya rasa kami semua sangat senang dan bangga ketika dia mengatakan betapa padunya naskah tersebut, meskipun pada kenyataannya dikerjakan oleh enam orang (yah, delapan orang tepatnya). Ini kali pertama para editor ikut serta dalam lokakarya dan menurut saya ini pengalaman yang amat berharga bagi semua orang.

Tapi bukan hanya naskah kami yang kompak, kelompok kami juga. Semua orang sepertinya bekerja sama dengan baik dan merasa nyaman satu sama lain. Sekali lagi saya tersentak menyadari betapa pentingnya dinamika kelompok untuk dapat menikmati kegiatan-kegiatan semacam ini. Bagi banyak peserta, nilai penting dari lokakarya ini tampaknya kesempatan untuk bertemu, bekerja, dan berdiskusi dengan sesama penerjemah serta belajar dari pengalaman masing-masing, sebanyak atau sesedikit apa pun.

Sementara bagi saya pribadi, ini menjadi semacam titik balik, karena tiba-tiba saja saya berada di atas panggung untuk diskusi panel, dan bukan sebagai peserta.

JAKARTA

Kota mahaluas. Lalu lintas padat. Lautan sepeda motor. Manusia. Kambing-kambing di bawah jembatan. Berisik. Panas.

Saya diterbangkan melintasi setengah dunia dalam sebuah kaleng timah lalu dijatuhkan dalam gelembung, dan terpesona. Pengalaman itu ganjil dan tak nyata, dan masih terasa begitu baru dan dekat. Sebagian besar waktu saya habis untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, memandang melalui jendela mobil pada kota yang selalu bergerak, asing dan berada di luar sana.

Di dalam gelembung, saya di sana untuk melakukan sesuatu yang tak asing. Membicarakan penerjemahan, mengerjakan naskah yang juga kami garap di Norwich, namun sekarang bersama penerjemah Indonesia.

Lokakarya dan sebagian besar seminar bertempat di Eramus Taalcentrum, dan kami harus melewati pemeriksaan keamanan untuk bisa masuk, meskipun sambil lalu saja. Sekali lagi, kota berada di luar. Dan di dalam, begitu banyak pembicaraan. Dari seminar dan lokakarya tersebut, saya jadi menghargai betapa beruntungnya kami yang bekerja sebagai penerjemah di Eropa, terlepas dari keluhan yang sesekali kami lontarkan. Kami punya kemewahan untuk bekerja langsung dari bahasa sumber, kondisi kerja kami secara komparatif sangat baik, meskipun tidak selalu optimal. Kami dapat berpartisipasi dalam berbagai lokakarya, bertemu secara rutin dengan sesama penerjemah, dan, seringnya, berkontak dengan penulis.

Bagi sebagian besar peserta dalam kelas Norwegia, mungkin malah semuanya, ini pertama kalinya mereka melakukan kegiatan semacam ini. Pertama kalinya penulis hadir dalam satu ruangan dan dapat menjawab berbagai pertanyaan secara langsung. Dan pertanyaannya begitu banyak. Memang butuh waktu, awalnya kami semua bersikap sopan, membaca-baca situasi, tapi setelah melewati hari pertama dan kedua, pertanyaan pun menyerbu. Disertai banyak tawa. Pertanyaan-pertanyaan itu kebanyakan terkait budaya dan benda-benda. Apa yang dimaksud dengan support tights? Bagaimana salju bisa renyah padahal basah? Apa arti windswept? Saya sadar betapa pentingnya memahami negara, budaya, dan sastra dari karya yang kita terjemahkan, dan memiliki kemampuan untuk menjelaskannya dengan cara yang dapat dipahami pembaca dalam bahasa kita sendiri—dan betapa selama ini saya terlalu menganggap gampang hal tersebut. Seandainya saya diminta menerjemahkan sebuah novel dari bahasa Indonesia ke bahasa Norwegia, melalui bahasa Inggris, saya pasti akan sangat kesulitan.

Itu sebabnya masalah penerjemahan estafet (melalui bahasa perantara) amat penting, jika kita ingin buku benar-benar dipahami dan tersebar seluas Big Bird maupun Kill Bill. Inisiatif Penerjemahan Sastra merupakan langkah besar di arah yang tepat.

Seiring berlalunya minggu itu, dan naskah berpindah dari bahasa Norwegia melalui bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, peran saya surut. Aneh rasanya menjadi orang yang kini berada di luar, dan tidak mengetahui bagaimana naskah itu berkembang dalam bahasa Indonesia sebagai hasil dari diskusi kami, tapi saya yakin itu pasti yang terbaik.

Saya berbagi gelembung saya dengan orang-orang yang luar biasa, tak terkecuali orang-orang yang saya temui di Norwich. Mungkin saya merasa agak jatuh cinta. Sebagian kecil benak saya masih berada di Jakarta. Jadi setiap malam, sewaktu menggosok gigi dengan pasta gigi yang kami dapatkan dalam paket penyambutan kami, saya kembali berada di sana. Saya tak tahu arti kata-kata pada kemasannya. Tapi saya tak ingin isinya kandas.


TERUS MENJAUH DARI BAHASA IBU

Kjersti Annesdatter Skomsvold

Terjemahan Barokah Ruziati

Aku keluar dari kamarku, pada pagi pertama di Norwich, tujuh ekor kelinci duduk berjajar di halaman, menatapku. Aku ragu-ragu, sebelum bergegas melewati mereka, sehingga mereka tak punya waktu untuk membuat keputusan. Aku takut ketahuan. Di dalam ruang seminar, aku menatap ketujuh penerjemah; aku berusaha membuat keputusan tentang mereka, aku tahu mereka akan menyingkapku.

Naskah yang akan mereka terjemahkan adalah bab pertama dari novel keduaku, novel yang belum dicetak. Aku merasa rapuh, memikirkan apakah naskah itu cukup solid, apakah bakal tahan ditarik dan diseret oleh pembaca-pembaca yang cermat ini.

Hal terpenting bagiku saat menulis adalah bahasanya, bahwa bahasa si penulis bertemu dengan bahasa si karakter dalam buku. Terjemahan novel pertamaku menjadi tantangan karena keanehan si karakter terpancar lewat kata-kata aneh yang dia pilih, dan dalam terjemahan ke bahasa Inggris, sulit membuat si karakter tampak aneh—dan bukan penerjemahnya yang aneh. Dalam bab pertama novel baruku, bahasanya dicirikan dengan aliran deras pemikiran, berpindah-pindah antara tense yang berbeda, dan aku menggunakan kata-kata karanganku sendiri, sering kali berbentuk kata benda gabungan. Selama beberapa tahun mengerjakan buku ini, rasanya sungguh menyiksa dan penuh perjuangan, dan setelah beberapa jam menyaksikan para penerjemah di Norwich, senang rasanya melihat perjuangan itu dialihkan kepada orang lain. Namun betapa menyentuh melihat seseorang sama pedulinya denganku soal di mana harus meletakkan tanda koma. Orang mungkin berpikir menerjemahkan adalah kegiatan yang membosankan untuk ditonton. Tapi sama sekali tidak, dan aku berusaha sebaik mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sebenarnya ingin kusampaikan.

Setelah lima hari bekerja, tiba saatnya pembacaan. Mereka semua bekerja begitu keras menggarap terjemahan naskah ini, dan aku merasa bangga karena mereka bangga akan hasil pekerjaan mereka. Rasanya seakan-akan tulisanku telah menjadi sesosok hewan yang memiliki keinginan sendiri, benar-benar mandiri dariku, dan itulah tepatnya yang kuinginkan untuk buku-bukuku, aku ingin mereka mampu berdiri sendiri.

Kemudian naskah berbahasa Inggris itu berkelana ke sisi lain dunia. Di luar gedung seminar di Jakarta ada kucing-kucing paling mungil yang pernah kulihat; aku bisa memasukkan semuanya dalam sakuku. Di dalam gedung aku bertemu para penerjemah. Aku langsung merasa para penerjemah dari Norwich seharusnya berada di sini dan bertemu para penerjemah Indonesia, seakan-akan mereka saudara kandung yang terpisah saat lahir.

Aku menghadapi dengan percaya diri penerjemahan naskah berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia, karena para penerjemah bahasa Inggris berhasil memecahkan masalah-masalah yang mereka temui. Tetapi ternyata kali ini cukup berbeda. Aku memberitahu mereka bahwa dalam naskah ini aku menganggap ‘waktu’ sebagai sesuatu yang vertikal alih-alih horizontal, bahwa masa kini menjadi sesuatu yang berbeda karena kisah-kisah dari masa lalu dan masa depan meneranginya. Jadi ketika mereka memberitahuku bahwa dalam bahasa Indonesia hanya hanya ada satu tense untuk kata kerja, aku nyaris menangis. Tapi mereka berhasil mengatasinya, setidaknya itu yang mereka katakan padaku. Kupikir itu juga bagian dari penerjemahan, merelakan sepenuhnya tulisanku di tangan orang lain, percaya bahwa mereka menginginkan yang terbaik untuk naskah tersebut, dan dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, aku yakin begitu.

Si karakter utama tercebur ke sungai saat sedang arung jeram, setelah terjatuh dari sisi perahu, dan dia terseret arus kencang, telentang sembari menjaga kakinya tetap di atas agar tidak tersangkut rongsokan di dasar sungai, sepeda-sepeda dan kereta-kereta bayi yang dibuang orang, kau bisa tenggelam dengan cara seperti itu.

T: Tapi kenapa ada sepeda dan kereta bayi di sungai?

J: Karena orang-orang membuangnya ke sana.

T: Tapi kenapa mereka melakukan itu?

J: Untuk menyingkirkannya, misalnya kalau seseorang ingin membeli sepeda baru.

T: Kenapa tidak dijual saja sepeda yang lama? Dijual bagian-bagiannya?

J: Karena kami pemalas.

T: ‘kau bisa tenggelam dengan cara seperti itu’ – apakah maksudmu tenggelam dengan cara yang sama seperti kereta-kereta bayi dan sepeda-sepeda?

Itu pemikiran yang indah—kereta-kereta bayi dan sepeda-sepeda lenyap terbawa aliran sungai, melambai-lambai dengan setang mereka, menangis minta tolong, sebelum tenggelam ke dasar. Itu tak pernah terpikir olehku sebelumnya.

Mempelajari suatu bahasa, dan mempelajari bahasa lain, berarti menyelam ke bawah permukaan, terus sampai ke dasar, dan kupikir aku belajar tentang budaya mereka sebanyak mereka belajar tentang budayaku. Aku sendiri juga belajar lebih banyak tentang bahasa Norwegia, karena satu bahasa hanya dapat melihat dirinya sendiri dalam perspektif bahasa lain. Yang paling penting, aku melihat tulisanku sendiri dalam perspektif baru.

Eliza HandayaniComment