Clarissa & Peter
Virginia Woolf
Terjemahan Eliza VH
Nyonya Dalloway berkata ia akan beli sendiri bunga-bunga untuk pesta.
Tugas Lucy sudah cukup banyak. Pintu-pintu mesti dilepaskan dari engsel, orang-orang Rumpelmayer akan datang. Lagipula, pikir Clarissa Dalloway, sungguh pagi yang indah—segar seolah dipersembahkan kepada anak-anak di pantai.
Terbang tinggi! Terjun bebas! Selalu begitu kehidupan terasa bagi Clarissa, sejak ia masih gadis remaja, tiap kali ia membuka pintu-jendela dan menerjang halaman Puri Bourton, rumah masa kecilnya yang luas. Kadang-kadang engselnya berderit, Clarissa masih bisa dengar bunyinya. Betapa sejuk, betapa hening udara di sana pada dini hari, jauh lebih sunyi daripada di London—bagai riak ombak, bagai kecup ombak—dingin dan jernih, tetapi juga syahdu, begitu perasaannya ketika itu, seorang gadis delapan belas tahun yang berdiri di Puri Bourton di hadapan jendela yang terbuka, ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia memandang bunga-bunga, pohon-pohon, asap yang membubung di sela-sela pepohonan, serta burung-burung gagak yang mengangkasa dan menukik. Ia terus berdiri dan menatap hingga Peter Walsh berkata, “Merenung di antara sayuran?” Benarkah itu yang ia ucapkan? “Aku lebih suka manusia ketimbang kol.” Atau itu? Peter mengatakan sesuatu seperti itu saat sarapan, suatu pagi setelah Clarissa mengundurkan diri ke teras—Peter Walsh. Ia akan kembali dari India dalam waktu dekat, Juni atau Juli, Clarissa tak ingat, sebab surat-surat Peter luar biasa hambar. Namun, banyak orang tentu ingat perkataan-perkataannya, matanya, pisau lipatnya, senyumnya, gerundelnya, dan—betapa aneh, sementara jutaan hal lain telah sirna—beberapa ucapannya tentang kol.
Clarissa membeku sejenak di tepi jalan, menunggu mobil toko Durtnall berlalu. Perempuan yang menawan, pikir Scrope Purvis terhadap Clarissa (ia mengenal Clarissa sebagaimana seseorang mengenal tetangga mereka di Westminster), ada sesuatu yang mirip burung dalam dirinya, burung jay, biru-hijau, ringan, penuh semangat hidup, meskipun ia sudah berusia lebih dari lima puluh dan kini sangat pucat sejak ia jatuh sakit. Di sana ia bertengger, tak pernah memperhatikan Scrope Purvis, menunggu untuk menyeberang jalan dengan badan sangat tegak.
Selama tinggal di Westminster—berapa tahun yang lalu? lebih dari dua puluh—kita merasakan, di tengah lalu lintas sekalipun, atau kala terjaga pada malam hari, Clarissa merasa yakin, suatu keheningan yang khusus, atau kekhidmatan, sebuah jeda yang mustahil digambarkan, sebuah suspensi (tapi itu bisa jadi jantungnya, kata mereka, terpengaruh influenza) sebelum Big Ben berdentang. Itu dia! Lantang ia berkumandang. Awalnya sekilas peringatan, musikal; diikuti dentang waktu, tak terbantahkan. Lingkar-lingkar timbal pudar di udara. Sungguh tolol kita ini, Clarissa pikir, seraya menyeberangi Jalan Victoria. Hanya Tuhan yang tahu mengapa kita begitu mencintai kehidupan, mengapa ia tampak sungguh indah di mata kita, betapa kita sanggup mengkhayalkannya, membangunnya, meruntuhkannya, mencipta ulang tiap-tiap saat; bahkan para pendongkol yang terparah, para pemuram yang terdurja yang duduk-duduk di muka pintu (sambil terus menenggelamkan diri dalam keruntuhan mereka) juga begitu; tak bisa disanggah, Clarissa merasa positif, oleh Keputusan Parlemen sekalipun: mereka mencintai kehidupan. Di mata orang-orang, dalam ayun, langkah, dan derap; dalam lenguhan dan jerit-sorak; di kereta kuda, mobil, omnibus, van, para penjaja roti lalu lalang dan melenggang; marching band; pemain harmonika; dalam kejayaan dan denting dan nyanyi tinggi nan aneh sebuah pesawat di atas kepala—semua itulah yang Clarissa cintai: hidup, London, saat ini di bulan Juni.
Saat itu pertengahan Juni. Perang sudah usai, kecuali untuk orang-orang seperti Ny. Foxcroft di Kedutaan kemarin malam, yang getir sebab putra satu-satunya terbunuh dan kini puri milik keluarga mesti diwariskan kepada seorang sepupu; atau Lady Bexborough yang, dengan masih menggenggam telegram, menjual barang-barang anak kesayangannya John, terbunuh dalam perang, untuk amal. Namun, kini semua itu usai sudah, puji Tuhan, semua itu kini sudah usai. Sekarang bulan Juni. Raja dan Ratu menempati istana. Dan di mana-mana, meskipun hari masih pagi sekali, ada genderang bertalu, ada kuda-kuda poni melompat, ada pemukul kriket berayun. Lords, Ascot, Ranelagh, dan semuanya terbungkus dalam adonan kabut pagi biru-kelabu, dan seraya hari bertambah siang akan membuat mereka santai, dan berlabuh di pekarangan rumah mereka, dan menenangkan kuda-kuda poni yang berlompatan, yang kaki depannya baru saja menghentak bumi dan bertolak tinggi, pemuda-pemuda yang berkisar, dan gadis-gadis yang tertawa dalam gaun muslin transparan, yang bahkan kini pun, setelah berdansa semalam suntuk, membawa jalan-jalan anjing-anjing mereka yang berbulu luar biasa tebal, bahkan sekarang, sepagi ini, janda-janda tua diam-diam meluncur dalam mobil-mobil mereka dengan tujuan yang misterius, dan para empunya toko mengutak-atik etalase dengan pasta atau berlian dagangan mereka, atau bros kuno warna hijau-laut dengan gaya abad delapan belas untuk menarik minat pembelanja Amerika (tapi kita mesti ingat untuk berhemat, untuk tidak asal membeli hadiah untuk Elizabeth), dan Clarissa juga menyukai semua itu dengan semangat yang konyol dan setia, ia suka jadi bagian semua itu, karena nenek moyangnya adalah courtiers dahulu kala di zaman dinasti Georges, dan dia juga malam itu akan memantik sinar dan berpendar, ia akan mengadakan pesta. Namun, betapa anehnya, seraya ia memasuki taman, keheningan ini, kabut ini, gumaman ini, bebek-bebek yang berenang dengan pelan dan bahagia, burung-burung berkantong yang bermain-main, dan siapapun orang itu yang berjalan memunggungi gedung-gedung pemerintah, dengan pantas menyandang koper yang berstempel insignia angkatan bersenjata, siapa kalau bukan Hugh Whitbread, teman lama Clarissa, Hugh yang terhormat.
“Selamat pagi, Clarissa,” kata Hugh dengan akrab dan berbunga-bunga, karena mereka telah saling mengenal sejak kanak-kanak. “Mau ke mana pagi ini?”
“Betapa asyiknya berjalan-jalan di London,” kata Nyonya Dalloway. “Sungguh lebih asyik daripada di desa.”
Suami-istri Whitbread keluar rumah pagi ini—sayangnya—untuk berkonsultasi dengan dokter. Orang-orang lain keluar untuk melihat lukisan di museum, menonton opera, mengajak putri mereka berjalan-jalan, sementara suami-istri Whitbread keluar untuk “berkonsultasi dengan dokter.” Sudah tak terhitung berapa kali Clarissa membesuk Evelyn Whitbread di rumah sakit. Apakah Evelyn sakit lagi? Evelyn sudah lama tidak enak badan, kata Hugh Whitbread, mengisyaratkan dengan cemberut atau dengan mengembangkan tubuhnya yang berpakaian rapi dan mahal, jantan, sangat tampan (ia selalu berpakaian dengan nyaris terlalu necis, tapi barangkali itu keharusan baginya yang bekerja di Istana) bahwa istrinya menderita sejenis penyakit dalam, tidak serius, yang sebagai teman lama Clarissa Dalloway semestinya bisa memahami tanpa harus meminta Hugh menjelaskannya dengan rinci. Ah ya, Clarissa mengerti, betapa menyebalkannya, dan ia merasa simpati kepada Evelyn seperti seorang saudara, dan pada saat yang sama merasa canggung akan topi yang dikenakannya. Bukan topi yang tepat untuk pagi hari, benarkah itu? Hugh senantiasa membuatnya merasa, seraya ia terus berceloteh dengan berisik dan penuh semangat, mengangkat topinya dengan gelagat berlebihan dan meyakinkan Clarissa bahwa ia bisa jadi gadis delapan belas tahun, dan tentu saja Hugh akan datang ke pestanya nanti malam, Evelyn jelas bersikeras, hanya saja mereka mungkin sedikit terlambat karena ada pesta juga di Istana dan ia harus hadir mengajak salah seorang putra Jim—Clarissa selalu merasa rendah diri di samping Hugh; seperti anak sekolah, tapi akrab dengannya, karena ia sudah begitu lama mengenalnya, tapi Clarissa pikir Hugh termasuk orang baik, dengan caranya sendiri, meskipun Hugh nyaris saja membuat Richard gila, sementara Peter—hingga hari ini Peter belum memaafkan Clarissa karena menyukai Hugh.
Clarissa masih ingat adegan demi adegan di Bourton—Peter murka, Hugh jelas bukan tandingannya bagaimana pun, tapi Hugh tetap bukan idiot seperti yang Peter bilang, bukan otak udang. Ketika ibunya yang sudah renta menginginkannya berhenti memburu atau mengantarkannya ke Bath, Hugh menurut, tanpa protes sepatah pun; ia sangat tidak egois, dan Peter bilang Hugh tak punya hati, tak punya otak, tak punya apa-apa kecuali tata krama dan nama baik keluarga bangsawan Inggris—itu hanya Peter dalam perilakunya yang terburuk, Peter bisa jadi sulit ditoleransi, tapi ia juga teman mengagumkan untuk diajak jalan-jalan pada pagi seperti ini.
(Bulan Juni telah menarik keluar semua dedaunan di pohon-pohon. Ibu-ibu di jalan Pimlico menyusui anak-anak mereka. Pesan-pesan disampaikan dari Jalan Fleet ke Admiralty. Jalan Arlington dan Piccadilly seperti merekah berkat udara di teman ini, yang mengangkat dedaunan dengan panas dan cerah, terbawa arus vitalitas yang surgawi, yang sungguh Clarissa sukai. Berdansa, naik kuda, betapa ia menikmati semua itu.)
Mereka bisa saja terpisah selama ratusan tahun, Clarissa dan Peter—Clarissa tak pernah menulis surat, dan surat-surat Peter sekering jerami—tapi sekonyong-konyong Clarissa akan bertanya: Andai Peter bersamaku sekarang, apa yang akan ia katakan? Hari-hari tertentu, pemandangan-pemandangan tertentu melayangkan bayang-bayang Peter kembali kepada Clarissa—bayang-bayang itu datang dengan kalem, tak disertai kepahitan masa lalu. Mungkin itu imbalan bagi kita yang pernah peduli pada orang lain: bayang-bayang mereka mendatangi kita di tengah Taman St. James di pagi yang cerah. Betapa indahnya hari ini—rerumputan, pepohonan, gadis kecil dengan gaun merah jambu—tapi Peter, Peter tak pernah memperhatikan semua itu. Jika Clarissa menyuruhnya, ia akan kenakan kacamatanya, ia akan menerawang. Tetapi yang sungguh-sungguh menarik perhatian Peter adalah situasi dunia—Wagner, syair-syair Pope, sifat-sifat manusia yang abadi, dan kekurangan-kekurangan Clarissa sendiri. Keras sekali Peter mencelanya! Sengit sekali mereka berdebat! Clarissa bercita-cita menikah dengan Perdana Menteri dan berdiri di atas undakan rumah yang mewah? Peter mengatainya Nyonya Rumah Sempurna. (Clarissa diam-diam menangis di kamarnya.) “Kau cocok jadi nyonya rumah sempurna, Clarissa,” kata Peter.
Sekarang Clarissa berdebat dengan dirinya sendiri di Taman St. James, terus berusaha meyakinkan diri bahwa ia benar—ia harus benar—tidak menikahi Peter. Dalam pernikahan, mesti ada sedikit privasi, sedikit kemerdekaan antara dua orang yang hidup bersama setiap hari di rumah yang sama. Richard mengikhlaskan hal itu, dan Clarissa mengikhlaskannya kepada Richard. (Misalnya, di mana Richard pagi ini? Ia menghadiri pertemuan sebuah komite—komite apa Clarissa tak pernah tanya.) Tapi dengan Peter segalanya mesti dibagi, segalanya mesti dibahas. Clarissa tak tahan, dan ketika mereka tiba di tepi pancuran di tengah taman kecil itu, ia harus memutuskan persahabatan mereka atau mereka berdua akan hancur, mereka berdua akan runtuh, Clarrisa yakin, meskipun selama bertahun-tahun ia menyimpan dalam hatinya, seolah sebatang panah tertancap di sana, luka dan sakit hati. Lalu horor yang dirasakannya saat seseorang memberitahunya pada sebuah konser bahwa Peter telah menikah dengan seorang wanita yang ditemuinya di atas kapal menuju India! Takkan pernah Clarissa lupakan hal itu. Dingin, tak berhati, kolot, Peter menyebutnya dulu. Clarrisa takkan pernah memahami betapa Peter peduli. Tapi apakah perempuan-perempuan India memahaminya? Perempuan-perempuan konyol, cantik, dangkal, tolol. Sia-sia Clarissa berusaha mengasihani Peter. Sebab Peter bahagia, selalu begitu katanya kepada Clarissa, sangat bahagia—walaupun Peter tak pernah mewujudkan satu pun cita-cita yang dulu sering mereka perbincangkan. Ia selalu gagal sepanjang hidupnya. Clarissa masih marah kepadanya karena hal itu.
Ia telah mencapai gerbang taman. Clarissa berdiri sejenak, memandangi omnibus di Piccadilly.
Ia takkan mengatakan pada seorang pun di dunia sekarang bahwa mereka itu ini atau mereka itu anu. Ia merasa sangat belia dan, sekaligus, luar biasa tua. Ia membedah segalanya seperti pisau, di saat yang sama ia berada di luar, menatap ke dalam. Ia punya firasat yang tak habis-habisnya, seraya ia mengamati taksi-taksi berlalu, bahwa ia berada jauh di luar sana, jauh di lautan dan sendirian. Clarissa selalu merasa bahwa hidup itu amat sangat berbahaya, barang sehari pun. Bukan ia merasa dirinya pintar atau istimewa. Bagaimana ia bisa selamat sampai setua ini hanya berbekal beberapa ranting pengetahuan yang diajarkan Fräulein Daniels kepadanya, ia sama sekali tak dapat meraba. Ia tak tahu apa-apa—bahasa tidak, sejarah tidak; apalagi sekarang ia jarang membaca buku, kecuali memoar di tempat tidur. Namun, tetap saja, hidup dan semua yang terjadi di dalamnya sungguh memesona baginya—taksi-taksi yang lewat—dan ia takkan bilang bahwa Peter, bahwa Clarissa sendiri, adalah ini, adalah anu.
Bakatnya satu-satunya adalah kemampuan mengenal seseorang nyaris secara naluriah, Clarissa pikir sambil terus berjalan. Jika ia ditempatkan dalam satu ruangan bersama seseorang, bulu kuduknya akan langsung meremang seperti bulu kucing atau ia akan langsung mengeong. Di Puri Devonshire, di Puri Bath, di puri dengan kakaktua keramik, ia telah melihat mereka semua bercahaya, dan ingat Sylvia, Fred, Sally Seton—begitu banyak orang, dan berdansa semalam suntuk, dan kereta-kereta menggelinding maju ke pasar, dan berkendara pulang menyeberangi Taman St James. Ia ingat ia pernah melontarkan sekeping uang kecil ke Sungai Serpentine. Tapi tiap orang ingat—yang ia cintai adalah ini, di sini, saat ini, di hadapannya, ibu-ibu gemuk di dalam taksi. Apakah itu penting—ia bertanya dalam hati, seraya berjalan menuju Bond Street—apakah itu penting suatu hari nanti ia mesti berakhir, tamat, semua ini mesti berlanjut tanpa dirinya, apakah ia benci itu, atau apakah ia pikir itu justru melegakan bahwa kematian mengakhiri kita seutuhnya? Namun, entah bagaimana, pada jalan-jalan London ini, di tengah arus pasang dan surut segala sesuatu, di sini, di sana, Clarissa masih ada, Peter masih ada, dan mereka hidup dalam satu sama lain; ia bagian dari pohon-pohon di rumah, ia merasa yakin; ia bagian dari rumah di sana, jelek, berkelok-kelok jadi bagian dan serpih yang tak beraturan; ia bagian orang-orang yang tak pernah ia temui; ia tersebar bagai kabut di antara orang-orang yang paling ia kenal, yang mengangkatnya di atas dahan-dahan mereka seperti ia lihat pohon-pohon mengangkat kabut, tapi kabut itu tersebar lebih jauh lagi, hidupnya, dirinya. Tapi apa yang ia mimpikan seraya ia menatap ke dalam etalase toko Hatchards? Apa yang ia ingin pulihkan? Gambar apa, fajar putih di pedesaan, seraya ia membaca sebuah buku yang terbuka:
Jangan takuti lagi teriknya mentari
Atau badai salju mengamuk menusuk[1]
[…]
“Aduh, ada orang mengebel pintu,” seru Clarissa, berhenti menjahit, [kini ia sudah kembali berada di rumahnya sendiri, memperbaiki gaun hijau kesayangannya untuk pesta nanti malam]. Penasaran, ia menyimak.
“Ny. Dalloway pasti mau menemui saya,” kata pria separuh baya di lorong. “Dia pasti mau dan harus menemui saya,” ulangnya, menepikan Lucy dengan sopan, lalu berlari mendaki tangga begitu cepatnya. “Ya, ya, ya,” gumamnya sambil berlari, “ia harus mau menemui saya. Setelah lima tahun di India, saya harus menemui dia.”
“Siapa yang— Apa yang—” tanya Ny. Dalloway (tersinggung karena ada yang lancang mengganggunya pukul sebelas pada hari ia akan menggelar pesta), ketika ia dengar langkah kaki di tangga. Ia dengar seseorang memutar kenop pintu. Ia buru-buru menyembunyikan gaunnya, bagai seorang perawan menyembunyikan tubuhnya, membela privasinya. Kini kenop berputar. Kini pintu terbuka, dan masuklah—selama sedetik Clarissa tak dapat ingat siapa namanya, begitu terkejutnya ia melihatnya, begitu gembira, begitu malu, begitu kaget melihat Peter Walsh datang kepadanya dengan sangat tak terduga pada pagi ini! (Clarissa belum baca suratnya.)
“Apa kabar, Clarissa?” kata Peter Walsh, dengan gemetar ia meraih kedua tangan Clarissa dan mengecup keduanya. Ia tampak lebih tua, pikir Peter sambil duduk, aku takkan bilang kepadanya. Ia menyelidikiku, pikir Peter, ditelan gelombang malu, meskipun ia telah kecup tangan Clarissa. Diselipkannya tangan ke dalam saku, diambilnya sebuah pisau lipat dan dikeluarkannya bilahnya.
Peter masih persis sama, pikir Clarissa, tatapannya yang aneh, stelannya yang kotak-kotak; wajahnya sedikit lebih keriput, sedikit lebih kurus, sedikit lebih kering, barangkali, tapi ia kelihatan cukup sehat, dan masih seperti dulu.
“Alangkah menyenangkan, kita bersua kembali,” seru Clarissa. Peter masih memainkan pisau lipatnya. Dari dulu ia begitu, pikir Clarissa.
Peter baru saja tiba di London kemarin malam, katanya, ia harus lanjut ke pedesaan dalam waktu dekat; dan ia bertanya bagaimana kabar Clarissa selama ini? apa kabar keluarganya—Richard? Elizabeth?
“Dan sedang apa kamu tadi?” tanya Peter, pisau lipatnya menunjuk gaun hijau Clarissa.
Ia selalu tampil rapi, pikir Clarissa, tapi ia selalu mengkritikku karena ingin tampil rapi.
Lihatlah ia memperbaiki gaunnya, seperti biasa ia memperbaiki gaunnya, pikir Peter. Lihatlah ia duduk-duduk di sini selama aku di India, memperbaiki gaunnya, bermain-main, menghadiri pesta-pesta, berlari ke Puri Bourton dan kembali lagi, pikirnya, semakin lama semakin gusar, semakin lama semakin geram. Tak ada di dunia ini yang lebih buruk bagi perempuan daripada pernikahan, pikirnya, dan politik, dan memiliki suami yang Konservatif, seperti Richard yang terpandang. Jadi beginilah, di sinilah ia, pikir Peter sambil melipat kembali pisaunya dengan berisik.
“Richard baik-baik. Ia sedang menghadiri pertemuan komite,” kata Clarissa.
Dan ia ambil kembali guntingnya dan tanya apakah Peter keberatan Clarrisa menyelesaikan memperbaiki gaunnya, sebab ia akan menggelar pesta malam nanti? “Jangan khawatir, aku takkan mengundangmu,” katanya, “Peterku sayang.”
Sungguh lezat mendengar Clarissa berkata begitu—Peterku sayang! Ah, betapa lezatnya—di antara semua perkakas perak dan kursi-kursi—betapa lezatnya!
“Mengapa kau tak mau mengundangku?” tanya Peter.
Sungguh ia memesona, pikir Clarissa, tentu saja, ia selalu memesona! Sekarang aku ingat betapa mustahilnya dulu menetapkan pilihanku—dan mengapa dulu aku memilih—untuk tidak menikahinya? Clarissa bertanya-tanya. Musim panas terkutuk itu!
“Sungguh tak terduga kau muncul pagi ini, Peter!” seru Clarissa dan melipat kedua tangannya di atas gaunnya. “Ingatkah kau,” tanyanya, “suara horden menepuk-nepuk jendela di Bourton?”
“Tentu,” katanya, dan ia ingat makan pagi sendiri, dengan sangat canggung, bersama ayah Clarissa, yang telah meninggal, dan ia belum mengabari Clarissa. Tapi Peter tak pernah akur dengan Pak Tua Parry, Justin Parry, ayah Clarrisa yang gemar beradu pendapat dan lemah lututnya.
“Sering kupikir andai saja aku lebih akur dengan ayahmu,” kata Peter.
“Ayah tak pernah suka laki-laki yang— teman-teman kita,” kata Clarissa. Ia menggigit lidahnya sendiri karena nyaris saja mengingatkan Peter bahwa dulu ia ingin melamar Clarissa.
Tapi tentu Peter ingat, ia bahkan nyaris patah hati dan larut dalam dukanya sendiri, yang terbit ibarat bulan dilihat dari teras, indah dan memukau, dikelilingi cahaya hari yang terbenam. Tak pernah setelahnya aku lebih tak berbahagia daripada saat itu, pikirnya. Seolah-olah ia duduk di teras tadi dan memandang bulan bersama Clarissa, ia beringsut mendekatinya, ia ulurkan tangannya, ia angkat, ia biarkan jatuh. Di sana, di atas mereka, bulan itu tergantung. Clarissa pun tampak duduk bersama Peter di teras tadi, bermandi cahaya bulan.
“Bourton dimiliki Herbert sekarang,” kata Clarissa. “Aku tak pernah ke sana lagi.”
Kemudian, sebagaimana mungkin terjadi di sebuah teras yang bersimbah cahaya bulan, ketika orang yang satu merasa malu karena ia merasa bosan lebih dulu, sementara orang yang lain duduk tenang dan diam, menatap bulan dengan sedih, tidak ingin bicara, menggerakkan kakinya, berdeham, dan memperhatikan sebuah gulungan besi di kaki meja, beranjak sedikit, tapi tidak berkata-kata—itu yang Peter Walsh lakukan sekarang. Buat apa kembali ke masa lalu? pikirnya. Mengapa memaksaku mengenang kembali? Mengapa membuatku menderita lagi, sementara dulu Clarissa telah menyiksanya sekejam neraka? Buat apa?
“Kau masih ingat danau itu?” tanya Clarissa dengan patah-patah, sebentuk emosi telah mencengkeram dan menekan hatinya, membuat otot-otot tenggorokannya kaku, dan membuat bibirnya gemetar ketika mengucapkan “danau”. Sekejap ia kanak-kanak, melempar roti ke bebek-bebek, berdiri di antara orangtuanya, dan pada saat yang sama ia perempuan dewasa melangkah menuju orangtuanya di tepi danau, mengenggam kehidupannya di tangannya, semakin ia mendekat, hidup itu tumbuh semakin besar, hingga ia menjadi hidup yang utuh, hidup yang lengkap, yang lalu ia letakkan di hadapan orangtuanya sambil berkata, “Inilah yang telah kulakukan dengan hidupku! Lihat!” Dan apa yang telah ia lakukan dengan hidupnya? Apa? Duduk di sini dan menjahit pagi ini bersama Peter.
Ia menatap Peter Walsh; tatapannya, menembus segala kenangan dan segala emosi tadi, sampai pada Peter dengan canggung, hinggap padanya dengan berlinang airmata, bangkit dan terbang mengepak, umpama burung singgah di ranting, lalu mengepakkan sayap dan melesat pergi. Clarissa menyeka matanya.
“Ya,” kata Peter. “Ya, ya, ya,” katanya seolah Clarissa telah membangkitkan sesuatu yang melukainya. Hentikan! Hentikan! Ia ingin menjerit. Ia belum tua, hidupnya belum berakhir, belum sama sekali! Ia baru saja lewat lima puluh tahun. Akankah kukatakan kepadanya, atau tidak? pikir Peter. Ia ingin mengaku dan melegakan dadanya. Tapi Clarissa terlalu dingin, pikir Peter, menjahit dengan guntingnya. Daisy akan tampak biasa saja di samping Clarissa. Dan Clarissa akan menganggapku gagal sekali lagi, aku memang gagal dibanding keluarga Dalloway. Ya, Peter yakin itu, ia gagal dibanding semua ini. Meja ukir, pembuka surat, pajangan lumba-lumba dan kandil, kain penutup kursi dan lukisan-lukisan Inggris antik—Peter gagal! Aku benci semua itu, seperti sok pamer, pikirnya, tentu perbuatan Richard, bukan Clarissa, walau Clarissa memutuskan untuk menikahinya. (Lucy masuk, membawa perangkat perak, lagi-lagi perak, tapi menawan, langsing, anggun Lucy tampaknya, pikir Peter, seraya Lucy membungkuk untuk meletakkan barang bawaannya.) Dan ini telah berlangsung selamanya! pikir Peter, minggu demi minggu, sepanjang hidup Clarissa. Sementara aku—ia pikir—dan seketika segalanya seolah tersembur keluar: perjalanan, perkendaraan, pertengkaran, petualangan, pesta main kartu, percintaan, kerja, kerja, kerja! Dan diambilnya pisau lipatnya tanpa sembunyi-sembunyi—pisaunya yang tua dan bergagang dari tanduk, Clarrisa berani sumpah Peter sudah membawanya sejak tiga puluh tahun lalu—dan dicengkeramnya erat-erat.
Sungguh kebiasaan yang luar biasa, pikir Clarissa, Peter bermain dengan pisaunya. Selalu membuatnya kelihatan terlalu dangkal, berpikiran kosong, seolah hanya pengobrol yang konyol, seperti katanya sendiri. Tapi aku sendiri, pikir Clarissa, memungut kembali jarumnya dan memanggil, seperti seorang ratu yang para pengawalnya jatuh tertidur dan meninggalkannya tanpa pengamanan (Clarissa sangat dikejutkan oleh kunjungan Peter ini—ia bahkan merasa kesal) sehingga siapa saja bisa masuk dan memandanginya seraya ia berbaring dengan sulur-sulur daun berpuntir-puntir di sekitarnya, ia memanggil hal-hal yang biasa ia lakukan supaya membantunya memuluskan percakapan ini, hal-hal yang ia sukai, suaminya, Elizabeth, dirinya, singkatnya, yang Peter nyaris tak kenali lagi sekarang, biarkan semua itu mengerumuninya dan memukul mundur musuh.
“Ceritakan apa saja yang terjadi dalam hidupmu,” kata Clarissa. Sebelum pertempuran bermula, kuda-kuda menapaki padang, menggelengkan kepala, cahaya menyinari rambut mereka, leher mereka melengkung. Begitu pula Peter dan Clarissa, duduk bersisian di sofa biru, saling menantang. Kekuatan Peter bergosok dan bergolak dalam dirinya. Dikumpulkannya dari berbagai arah berbagai hal: pujian orang, kariernya di Oxford, pernikahannya, yang sama sekali tidak diketahui Clarissa, bagaimana ia telah mencinta, dan bereslah pekerjaannya.
“Berjuta hal!” serunya dan, terdesak oleh kumpulan daya-daya yang kini mengejarnya ke sana dan kemari dan memberinya perasaan ngeri dan luar biasa gembira diusung di udara di atas pundak orang-orang yang tak dapat ia lihat, ia angkat tangannya ke dahinya.
Clarissa duduk dengan punggung selurus jarum, menarik napas dalam-dalam.
“Aku sedang jatuh cinta,” kata Peter, bukan kepada Clarissa, melainkan kepada seseorang yang dijunjung dalam gelap sehingga kau tak dapat menyentuhnya, kau hanya dapat meletakkan karangan bunga di rumput di hadapannya dalam gelap.
“Jatuh cinta,” Peter ulangi, kini bicara nyaris datar pada Clarissa Dalloway, “jatuh cinta dengan seorang gadis di India.” Karangan bunga telah ia letakkan. Ia persilakan Clarissa membentuk pendapat sesukanya.
“Jatuh cinta!” kata Clarissa. Bisa Peter pada usia lima puluhan tersedot oleh monster itu, Peter dan dasi kupu-kupu kecilnya! Tak ada gumpal kulit di lehernya, tangannya merah, dan Peter enam bulan lebih tua daripadaku! Matanya tenang kembali, tapi dalam hatinya Clarissa merasa, sama saja, Peter sedang jatuh cinta. Ia punya itu, pikir Clarissa, ia jatuh cinta.
Namun, ego tak terjinakkan selamanya menggerus inang yang melawan, sungai yang membisikkan terus, terus, terus; meskipun, ia mengakui, tak ada tujuan apa-apa bagi kita, tapi terus, terus; ego tak terjinakkan ini terus merambah pipi-pipi Clarissa, memberinya warna, membuatnya tampak masih muda sekali, sangat merah muda, sangat penuh harap matanya, seraya ia duduk dengan gaunnya di lututnya, dan jarumnya di ujung benang sutra hijaunya, gemetar sedikit. Peter jatuh cinta! Bukan dengannya. Dengan seorang perempuan yang lebih muda, pastinya.
“Siapa namanya?” tanya Clarissa.
Sekarang sang patung mesti diturunkan dari ketinggian dan diletakkan di antara mereka.
“Ia sudah menikah, sayangnya,” kata Peter, “suaminya seorang mayor pada tentara India.”
Dan dengan kemanisan yang ironis dan mengundang penasaran, Peter tersenyum seraya ia meletakkan dewinya di hadapan Clarissa dengan cara yang konyol itu.
(Meskipun demikian, tetap saja, ia jatuh cinta, pikir Clarissa.)
Peter melanjutkan, “Ia punya dua anak yang masih kecil, satu perempuan, satu laki-laki. Aku pergi ke London untuk bicara dengan pengacaraku tentang mengusahakan perceraiannya.”
Begitulah, pikir Peter, lakukanlah apa yang kausuka dengan informasi itu, Clarissa! Begitulah ceritanya! Detik demi detik, seraya Clarissa merenungkan mereka, tampak bagi Peter bahwa istri si mayor pada tentara India itu (kekasihnya, Daisy) dan dua anak kecilnya semakin cantik dan cantik, ibarat Peter menyorotkan cahaya pada sebuah pelet kelabu di sebuah piring dan di situ tumbuhlah sebuah pohon indah, di tengah udara laut yang sejuk dan asin, seperti hubungan mereka yang intim (dalam beberapa hal tak ada yang memahaminya sebagaimana Clarissa, tak ada yang merasakan hal-hal yang dirasakannya sebagaimana Clarissa)—hubungan mereka yang indah dan intim.
Perempuan itu membuat Peter tersanjung, pikir Clarissa, ia membuat Peter terkecoh. Dalam benaknya Clarissa menggambar perempuan itu, istri sang mayor pada tentara India, dengan tiga goresan pisau. Sungguh sia-sia! Sungguh gila! Sepanjang hidupnya Peter telah dikecoh seperti itu, pertama dikirim jauh dari Oxford, kedua menikahi seorang gadis di atas kapal menuju India, sekarang istri seorang mayor pada tentara India—syukurlah Clarissa dulu menolak menikahinya! Namun, Peter tetap jauh cinta, sahabat lamanya, Peter kesayangannya, ia jatuh cinta.
“Apa rencanamu sekarang, Peter?” tanya Clarissa.
Pengacara dan ahli hukum, Hooper dan Grately di Lincoln’s Inn, mereka yang akan mengurus perkara, kata Peter. Lalu ia merapikan kuku-kukunya dengan pisau lipatnya.
Ya ampun, simpan pisau itu! jerit Clarissa dalam hati, tak kuasa lagi menahan kekesalannya. Selalu saja kebiasaan Peter yang konyol, kelemahannya, bagaimana ia bisa begitu tak sadar akan perasaan orang lain—itu yang menjengkelkan Clarissa, selalu itu, dan sekarang pun, sudah setua ini, ia masih begitu. Sungguh konyol!
Aku sadar semua itu, pikir Peter, aku tahu segala halangan yang ada di hadapanku, pikirnya, menyapukan jarinya sepanjang bilah pisaunya, Clarissa dan suaminya dan mereka semua, tapi akan kutunjukkan kepada Clarissa—dan kemudian ia sungguh terkejut, terlontar ke udara oleh daya-daya di luar kendalinya, ia menyemburkan airmata, ia menangis, menangis tanpa setitik malu, duduk di sofa, airmata mengalir di pipinya.
Dan Clarissa membungkuk, meraih tangannya, menariknya mendekat, mengecupnya—Peter merasakan wajah Clarissa menyentuh wajahnya sebelum ia sanggup menekan timbulnya kilat perak, menyembul laksana alang-alang dalam badai tropis di dadanya, lalu pudar, dibiarkannya Clarissa menggenggam tangannya, menepuk lututnya; dan Clarissa merasa, seraya ia duduk kembali, luar biasa santai dan ringan bersama Peter, serta-merta dalam setepuk semua perasaan itu membanjir kembali kepadanya, andai dulu aku menikahinya, kebahagiaan ini dapat kurasakan sepanjang hari!
Tak ada lagi kebahagiaan untuk Clarissa. Sprei telah direntangkan dan ranjangnya kini sempit. Ia telah pindah ke menara sendiri dan meninggalkan mereka menjadi kismis di bawah sinar matahari. Pintu telah menutup, dan di sana di antara debu dari plester yang terkelupas atau serpih-serpih dari sarang burung, betapa jauh pemandangan itu, dan suara-suara itu sampai dengan tipis dan dingin (suatu ketika di Bukit Leith, Clarissa ingat), dan Richard, Richard! Ia menjerit, seperti orang yang terbangun di tengah malam dan mengulurkan tangan di kegelapan minta tolong. Sedang makan siang dengan Lady Bruton, Clarissa ingat. Ia telah meninggalkanku, aku sebatang kara selamanya, Clarissa pikir, melipat tangannya di atas lututnya.
Peter Walsh bangkit dan menyeberang ruangan ke jendela dan berdiri di sana memunggungi Clarissa, mengibaskan sebuah sapu tangan dari sisi ke sisi. Piawai dan dingin dan kesepian ia tampak—tulang bahunya yang kurus mengangkat jaketnya sedikit, ia menyeka hidungnya dengan berisik. Bawa aku pergi, pikir Clarissa tiba-tiba, seolah Peter akan berangkat saat itu juga menempuh perjalanan yang menakjubkan, dan kemudian, saat berikutnya, seolah lima babak pementasan yang begitu seru dan menyentuh kini telah berakhir dan ia telah hidup seumur hidupnya dalam kelima babak itu, dan telah kabur, telah tinggal bersama Peter, dan sekarang semua sudah berakhir.
Sekarang waktunya pergi, dan seperti perempuan mana saja mengumpulkan barang-barangnya, jaketnya, sarung tangannya, kacamata operanya, dan bangkit untuk meninggalkan teater, Clarissa bangkit dari sofa dan mendekati Peter.
Sungguh sangat aneh, pikir Peter, bagaimana ia masih punya kekuatan, seraya Clarissa berjalan berdenting, berdesir, masih punya kekuatan, seraya ia menyeberangi ruangan, untuk membuat bulan, yang ia benci, terbit di atas Puri Bourton, di teras itu, pada malam musim panas itu.
“Katakan,” kata Peter, mencengkeram bahu Clarissa. “Apa kau bahagia, Clarissa? Apakah Richard—”
Pintu membuka.
“Ah, ini dia putriku Elizabeth,” kata Clarissa, penuh emosi, penuh melodrama, agaknya.
“Apa kabar?” kata Elizabeth, melangkah maju.
Bunyi Big Ben menyuarakan setengah jam berdentang di antara mereka dengan semangat luar biasa, bagai seorang pemuda yang gagah, cuek, tak sopan, mengayunkan lonceng ke sana dan ke sini.
“Halo, Elizabeth!” kata Peter, menyesakkan sapu tangannya ke kantung dan cepat-cepat berkata, “Sampai jumpa, Clarissa,” bahkan tanpa menoleh kepadanya, meninggalkan ruangan dengan buru-buru, terbang menuruni tangga dan membuka pintu di ujung selasar.
“Peter! Peter!” teriak Clarissa, mengejarnya hingga ke atas tangga. “Jangan lupa datang ke pestaku malam ini! Ingat pestaku malam ini!” teriaknya, meninggikan suaranya demi mengalahkan kebisingan dunia luar, dan ditelan suara lalu lintas dan semua jam yang berdenta, teriakannya “Ingat pestaku malam ini!” terdengar lemah dan tipis dan sangat jauh seraya Peter Walsh menutup pintu.
[1] Dari “Cymbeline” oleh William Shakespeare
VIRGINIA WOOLF (1882-1941) adalah seorang penulis modernis terkemuka yang menghasilkan banyak karya klasik, antara lain To the Lighthouse (1927), Orlando (1928), The Waves (1931), dan A Room of One’s Own (1929) yang menyelidiki perihal perempuan dan kepenulisan. Mrs Dalloway (1925) adalah novel yang sangat padat dan kaya. Selain tema kasih tak sampai antara Clarissa dan Peter, novel itu menyuguhkan tema ketertarikan sejenis antara Clarissa dan Sally (salah satu alasan mengapa novel ini dilarang di beberapa komunitas di Amerika), gangguan psikologis yang diderita Septimus sekembalinya dari medan perang, serta masih banyak lagi. Gaya kepenulisan Woolf yang luar biasa lincah dan dinamis menghimpun seribu satu sensasi dan emosi yang dialami tokoh-tokohnya. Masa lalu dan masa kini, kenyataan dan kebisajadian terkelindan dengan apik dalam novel yang sangat hidup ini, yang memperlihatkan kepada kita butir-butir waktu yang membentuk kehidupan kita dan siapa kita.