K untuk Kecoak
Julie Koh
Diterjemahkan oleh Eliza Vitri Handayani
Aku berada di dalam bus yang penuh sesak menuju belantara Cina. Suhu udara sepuluh derajat Celcius. Pengemudi memeliuk ke sana-sini, sepertinya untuk hiburan sendiri. Aku merasa mual, lebih dari sekadar mabuk darat. Ketika aku memandang keluar jendela untuk menenangkan perut, aku melihat sekilas pemandangan yang meresahkan terjadi di pinggir jalan—seekor kobra sedang tengah menelan seekor katak besar. Kaki belakang katak itu tergantung lemas dari rahang ular. Akhirnya aku tak kuat lagi memandang. Merasa sangat mual, aku muntah ke arah ibu-ibu keriput yang duduk di sebelah kananku, yang sedari tadi membului ayam hidup di pangkuannya. Dia dan unggas itu menatapku dengan jijik.
Serangkaian peristiwa yang mengantarkanku ke tempat ini dapat disebut sebagai bencana, tetapi bukannya tidak pernah terjadi pada wanita seusiaku. Aku berumur tiga puluh empat tahun, dan baru-baru ini mengalami serentetan nasib buruk. Pada tahun-tahun sebelum perjalananku ke Cina terpencil ini, aku dituduh melakukan pembunuhan, selamat dari kebakaran, dan akhirnya dicampakkan oleh tunanganku, seorang dokter gigi terkenal, melalui Snapchat. Ia jatuh cinta pada teman dekatku, Patrick Lenton, yang datang kepadanya untuk menjalani operasi akar gigi—dan jelas lebih banyak lagi. Ketika aku tiba di rumah pada malam itu, cinta sejatiku sudah mengosongkan apartemen kami di Potts Point dan kabur bersama Patrick ke rumah kedua kami di Mosman.
Bukan lagi wanita yang dinafkahi, aku terpaksa membangkitkan kembali karierku sebagai penulis. Aku mulai mengumpulkan tugas-tugas lepas yang sebetulnya tidak menggugah minatku. Aku menerima komisi ini untuk menulis esai tentang alam, misalnya, walaupun menurutku alam itu tidak menarik.
Kemudian, keadaan menjadi, bagaimana mesti kugambarkan, ‘lumayan buruk’. Aku putus asa, berbaring-baring saja di apartemen sambil menangis dan menenggak Bacardi Breezers, dan mengonsumsi segala macam obat-obatan sambil terkulai di pagar balkon. Semua gedung pusat kota dalam pandangan serasa mengepungku—mereka terkikik, terdistorsi.
Selama beberapa waktu aku terus saja begitu, sampai suatu hari aku terbangun jam dua pagi di lantai dapur karena sesuatu merangkak di wajahku. Aku bisa melihat antenanya bergoyang di atas mataku. Aku mencoba menjerit, tapi gagal. Lumpuh karena ketakutan, aku terbaring di sana untuk selamanya seraya makhluk mengerikan itu parkir di dahiku dan mulai mengunyah alis kiriku. Aku sudah sedemikian lalainya mengabaikan kebersihan hingga tempat tinggalku kini dibanjiri kecoak, yang terus mengerumuniku di lantai marmer.
Seraya kecoak-kecoak itu memeriksa tiap sudut apartemen mewahku, aku mulai mempertanyakan jijik yang kurasakan. Aku sadar bahwa perasaan benciku kepada kecoak sebenarnya adalah proyeksi kebencianku terhadap diri sendiri, yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Aku telah tiba pada momen Eat, Pray, Love-ku sendiri. Di sanalah aku, terbaring di lantai, kecanduan narkoba dan alkohol, tidak berfungsi, dan mungkin mandul (aku belum pernah periksa ke dokter). Aku tiba-tiba menjadi Bridget Jones, sendirian di apartemennya, dimakan anjing gembala Jerman. Aku menjelma Emma Thompson dalam film Natal yang satu itu, yang suaminya Snape ternyata tergila-gila pada wanita berambut bob yang merentangkan kakinya.
Aku bertanya kepada diri sendiri mengapa aku selalu sangat takut kepada kecoak. Aku penasaran apakah pertemuan ini merupakan pertanda bahwa perjalanan hidupku dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan makhluk rendah ini, yang konon mampu selamat dari kiamat. Bisakah aku mengatasi rasa ngeriku terhadap kecoak? Dan apa yang bisa diajarkan makhluk ini kepadaku tentang ketangguhan dalam menghadapi keputusasaan?
Sebelum itu, pertama-tama, aku perlu menjawab pertanyaan pendahuluan: siapakah aku yang merasa pantas menceritakan kisah kecoak, makhluk yang sederhana?
Aku, tentu saja, sadar akan fakta bahwa aku adalah seorang perempuan Anthropocene yang berkulit putih, dari kelas menengah, heteroseksual, dan cisgender. Seperti Donna Chang dalam serial komedi televisi AS Seinfeld, orang-orang selalu keliru menganggapku keturunan Cina—karena nama keluargaku. Karena itu, aku khawatir bagaimana identitas kulit putihku, dan khususnya kecenderungan supremasi kulit putihku, berpotensi membengkokkan narasi perjalananku untuk memahami kehidupan serangga seperti kecoak yang banyak dikenai prasangka buruk.
Adikku, Grete, seorang penulis muda yang keahliannya melampaui usianya, mulai merasa muak dengan keragu-raguanku. Kami berbagi guacamole kacang polong di bar atap favorit kami di Surry Hills pada suatu Senin malam.
"Kenapa kamu mesti menyiksa diri?" tanyanya. “Persetan dengan polisi pikiran kiri! Dulu mereka bilang kita tidak boleh menulis tentang orang Asia, sekarang kita tidak boleh menulis tentang kecoak? Gara-gara kecoak kini alismu cuma satu, kenapa kamu tak boleh menulis tentang trauma itu?!"
"Tapi sudah menjadi tugasku untuk sadar diri," kataku kepadanya. “Untuk mengupayakan otentisitas.”
Grete meneguk margaritanya yang tanpa tambahan gula, dan menyesuaikan sombrero urbannya. "Kita kan tidak berhubungan dengan budaya lain," katanya, "supaya mereka bisa mendikte apa yang boleh atau tidak boleh kita lakukan.”
Walaupun masih merasa tak percaya diri akibat semua privileseku, aku merasa lebih enak karena aku memiliki kesadaran feminisme interseksional, dan aku pun mulai membaca dengan lahap tentang topik kecoak.
Aku menguras koleksi demi koleksi dari setiap perpustakaan dan toko buku dalam jangkauan. Aku duduk di lantai dapur apartemen dikelilingi oleh buku-buku, martini, dan makanan kiriman UberEats.
Aku benar-benar tertarik pada gagasan bahwa makhluk hina ini, yang begitu dalam tertanam di alam bawah sadar manusia, mewakili kegelapan dalam diri kita semua.
Perhatianku terserap oleh buku Richard Schweid, The Cockroach Papers, terbitan 1999, yang penuh dengan anekdot interaksi yang tidak menyenangkan antara manusia dengan kecoak. Orang-orang berakhir di IGD karena rasa sakit luar biasa akibat kecoak yang bersarang di telinga mereka. Kecoak berjatuhan bagai hujan lebat selama dua puluh menit dari langit-langit restoran setelah tempat itu disemprot oleh pembasmi hama. Kecoak memakan pasta di balik kertas dinding dan membuat dinding seolah bergerak. Kecoak terkenal tidak hanya karena mengunyah alis, tetapi juga karena memamah bagian tubuh manusia lainnya ketika manusia itu tertidur—bulu mata, jemari kaki, kuku, luka-luka dan lecet-lecet, serta jari-jari berminyak anak-anak.
Yang juga mencerahkan adalah pernyataan Schweid bahwa kecoak jantan pergi tidur lebih malam daripada kecoak betina. Yang betina biasanya kembali ke sarang mereka pada tengah malam, sedangkan yang jantan cenderung baru pulang pada pukul dua atau tiga pagi.
Karenanya, aku mulai berfokus pada pengalaman kecoak betina sepanjang sejarah. Satu buku yang sangat mencerahkan adalah karya Paul Davis, The Man Who Kills Cockroaches, pertama kali diterbitkan pada 1982, tentang kehidupan seorang pria pengontrol hama di New York. Aku merasa terganggu oleh distorsi pengalaman kecoak sekarat melalui lensa patriarki yang sarat kekerasan—kuperhatikan tema itu juga muncul dalam teks-teks lain yang kubaca. Aku merasa jijik dengan betapa seringnya alam hanya dilihat dari hubungannya dengan manusia dan hanya sebagai latar belakang bagi keasyikan egois manusia.
Apa yang tidak ditulis dalam banyak buku adalah pengakuan bahwa kecoak semestinya tidak direndahkan dan seharusnya dikagumi sebagai keajaiban evolusi. Mereka memiliki kemampuan untuk bermutasi sebagai respons terhadap insektisida. Mereka dilaporkan dapat selamat dari bom nuklir dan bertahan hidup dalam misi luar angkasa. Dalam sebuah makalah yang berjudul “Sebuah Studi Eksperimental tentang Kemampuan Linguistik Blatta orientalis”, yang diterbitkan di Prancis pada 1934, B. Le Roux menyatakan telah mengamati contoh pertama seekor kecoak belajar berbicara bahasa Inggris Ratu tanpa kotak suara atau aksen. Kecepatan adaptasi kecoak adalah bukti ketangguhannya, apalagi niscaya mereka akan tetap hidup setelah kita semua punah.
Meskipun demikian, perjuangan keras untuk mewujudkan hak-hak kecoak di seluruh dunia telah lama terjadi. Menurut Benedict Nicholls, dalam bukunya The Public Life of Roaches, yang menyisir berbagai perlakuan terhadap serangga itu dalam politik Inggris abad kedua puluh, pada 1951 berkat Undang-Undang Hak Pilih Kecoak yang ketika itu baru disahkan, makhluk-makhluk yang sangat berkembang ini pertama kali dapat memilih dalam Pemilu.
Semakin banyak aku membaca, semakin aku mengagumi kecoak—keindahan bentuk kunonya yang mengilap, semangatnya untuk hidup meskipun lingkungannya sangat kotor. Aku pun bertekad untuk mendekolonisasi pikiranku sepenuhnya dan berjuang untuk kecoak—untuk membantu kecoak bangkit dan hidup di antara kita sebagai setara.
Dari semua bacaan ini—dan banyak yang mengecewakan—satu buku yang benar-benar berkesan bagiku adalah memoar berjudul In Search of Samsa, terbit pada 2010. Buku ini menggambarkan retret khusus wanita di tempat terpencil yang berspesialisasi membantu wanita menemukan kecoak dalam dirinya.
Penulis memoar itu bernama Gregoria Samsa—seorang pedagang tekstil dari Adelaide yang sebelumnya dikenal dengan nama Kaehte Frost-Wilkins. Dalam buku itu, dia menggambarkan bagaimana, pada masa yang miris saat dia kehilangan pekerjaannya, dia kebetulan memungut buku The Metamorphosis karya Franz Kafka, sebuah karya sastra klasik tentang alam yang menceritakan bagaimana si perintis Gregor Samsa mengalami seperti apa rasanya berubah menjadi serangga raksasa. Terinspirasi, Frost-Wilkins mengubah namanya secara legal dan meluncur ke alam liar, tempat ia mulai hidup menyendiri sebagai kecoak. Berdasarkan pengalamannya, ia menulis memoar yang mempopulerkan proposisi yang sekarang diterima secara luas bahwa ketika seekor kecoak mengepakkan sayapnya di Mongolia, seorang pembuat sepatu tua meninggal di Brasil.
Aku memutuskan untuk menemui wanita yang luar biasa ini, dan mencari tahu apakah dia mau melatihku juga untuk hidup sebagai kecoak. Karena itulah hari ini aku berada di dalam bus ini, menatap seekor kobra melahap kodok, dan karena itu jugalah aku akhirnya sampai di tangga depan sebuah rumah berlantai dua, mengamati sebuah plakat di pintu depan yang terukir dengan kata-kata “The Harbourage”, di sebuah tempat terpencil di negeri Cina yang oleh penduduk setempat disebut Guangzhou.
Ketika Gregoria Samsa, perempuan setinggi seratus lima puluh delapan senti itu, membuka pintu, aku terkejut melihat bahwa dia gemuk, telanjang, dan dicat cokelat. Dia mengundangku masuk dan memberitahuku bahwa dia telah memilih untuk hidup sebagai kecoak Amerika, atau Periplaneta americana, spesies besar yang konon bermigrasi ke Amerika di atas kapal-kapal budak dari pantai barat Afrika. Kemudian, aku sadar wanita-kecoak hebat yang berdiri di hadapanku ini—yang telah begitu berjasa untuk meningkatkan apresiasi terhadap kecoak—telah meninggalkan karakter kecoaknya sebentar demi menyambutku.
Kami duduk di sofa sambil minum teh kamomil dan Samsa mulai menceritakan kisahnya.
"Saya melihat paralel yang indah antara hidup saya dan Gregor di The Metamorphosis," katanya. “Dia berduka karena kehilangan kariernya sebagai pedagang tekstil, seperti halnya saya. Ketika saya membaca tentang kehidupannya, saya pun menyadari bahwa saya memiliki takdir dan tujuan hidup. Sekitar tahun 2005 saya pindah ke Guangzhou dan mulai mencoba bangkit dari kesedihan saya dengan melatih kecoak. Saya mengajar mereka untuk menyelusuri labirin. Saya berkomunikasi dengan mereka. Saya hidup sebagai kecoak di antara kecoak. "
Pada 2007, Samsa bermimpi menjadi kecoak. Dia terkejut dengan pembebasan yang dirasakannya ketika dia membayangkan dirinya dalam wujud ini.
“Saya menyadari bahwa saya ingin tidak sekadar berdialog dengan kecoak, tetapi saya ingin menjadi kecoak. Transformasi saya belum sempurna, tetapi saya penuh harapan.”
Pada awal proses yang revolusioner ini, Samsa mendapati dirinya mendambakan tempat-tempat gelap, dan memutuskan untuk membangun untuk dirinya sendiri sebuah selokan elit di bawah Harbourage, tempat yang ia beli dari seorang jutawan Cina.
Transformasi itu memberinya perasaan bebas yang luar biasa sehingga ia memutuskan untuk berbagi rahasia kebahagiaannya dengan wanita-wanita lain.
“Saya mengerti telah menjadi tanggung jawab saya untuk meneruskan pengetahuan saya. Sekarang saya melatih wanita-wanita lain untuk menjadi kecoak—wanita yang mengalami depresi dan patah hati, yang mencari jalan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena itulah Harbourage menjadi seperti sekarang ini.”
Ia melanjutkan, “Filosofi penting tempat ini adalah transformasi pribadi. Seseorang mesti menjadi kecoak agar dapat memahami kecoak."
Banyak wanita yang mencari tempat berlindung bersama Samsa adalah ekspatriat yang tengah menghadapi duka pribadi. Salah satu penghuni saat ini, katanya, adalah seorang pengusaha cake-pop yang kreasinya membuat para pelanggan awalnya keracunan parah. Peristiwa itu menghancurkan bisnisnya.
Seraya kami berbicara, seorang wanita Asia tua melintas sambil menarik dua ember di atas roda. Dia menciduk air dari ember yang satu untuk mengepel lantai. Dia lalu meraih ke ember yang satu lagi dan mengeluarkan berbagai macam sampah, yang dia hamburkan dengan rapi ke seluruh ruangan. Samsa tersenyum kepadanya dengan tatapan yang ramah.
“Sekali seminggu wanita Cina yang manis ini datang untuk membersihkan Harbourage. Bukan begitu, Ying Ying? Para anggota retret hanya boleh memanjakan diri dengan sampah atau kotoran artifisial.”
Samsa membawaku berkeliling Harbourage. Dia mulai dengan menunjukkan dispenser wewangian yang dipasang di dinding-dinding kamar, dan menjelaskan bahwa ia telah menugaskan Mimi, seorang seniman Finlandia yang bekerja dengan bau-bauan, untuk membuat tempat itu beraroma persis seolah dipenuhi kecoak. Tiap lima belas menit, embusan aroma unik itu tersembur dari dispenser. Schweid, dalam The Cockroach Papers, menggambarkan bau infestasi yang sebenarnya seperti ini: “bagai kumis tajam yang tidak menyenangkan, bagai kardus-kardus basah yang ditumpuk di atas bangkai seekor binatang kecil di sudut yang tidak berventilasi.” Bau simulasi karya Mimi sayangnya sangat akurat.
Aku dipandu ke tempat kerja dengan komputer, Samsa membuka database dan memintaku memilih ingin berlatih jadi kecoak jenis apa. “Ada ribuan varietas yang kami tawarkan. Tiap kecoak memiliki wajah yang berbeda, kami berupaya meniru keragaman ini di Harbourage.”
Aku memutuskan untuk menjadi, setidaknya untuk saat ini, kecoak Jerman atau Blattela germanica. Nama ini berasal dari kata Latin germa, yang berarti merangkak, dan blat, yang berarti onggok-onggok kotoran. Sayangnya, memilih jadi kecoak Jerman berarti aku tidak akan bisa terbang.
"Meskipun begitu, pilihanmu bagus," kata Samsa. Dia memberiku setelan celana cokelat standar (tidak semua orang merasa nyaman bertelanjang sejak awal), dan aku pun memulai hari pertamaku sebagai kecoak dalam keheningan. The Harbourage sebagian besar merupakan zona bebas-bicara.
Pada tahap awal pelatihan, Samsa membimbingku melakukan sejumlah pose yoga yang akan membantuku memahami ketubuhan kecoak. Aku terutama merasa nyaman melakukan posisi Upward-Facing Cockroach dan Reclining Cockroach. Latihan-latihan ini melatih empati dan mengingatkanku akan praktik la cucaracha pada abad ke-15 di Spanyol—dalam praktik ini orang-orang belajar toleransi dengan menyanyikan lagu tentang kecoak yang kehilangan dua kaki belakang.
Di ruang tamu utama terdapat sebuah kotak kardus besar. Samsa menyuruhku merangkak masuk dan bergabung dengan dua penghuni lainnya. Seperti Samsa, mereka telanjang dan dicat cokelat. Aku merasa sangat tidak nyaman. Aku tidak mengenal wanita-wanita ini, tetapi kulit dan tungkai kami bercampur dan berkelindan dalam keringat. Samsa menjelaskan bahwa kecoak lebih suka tinggal beramai-ramai dan berdempetan dengan kecoak-kecoak lain.
"Mereka merasa aman begitu," katanya. "Kamu akan terkejut betapa kamu menghargai rasa kekeluargaan yang tercipta.”
Aku mencoba berbicara dengan dua kecoak lainnya, yang sedang berlatih sama sepertiku, tetapi ternyata mereka telah meninggalkan cara komunikasi manusia. Salah seorang mendesis kepadaku seperti kucing.
"Dia sedang berlatih menjadi kecoak pendesis Madagaskar," kata Samsa.
Seorang yang satu lagi, si pengusaha cake-pop, berlatih menjadi kecoak Oriental. Si pengusaha itu menghabiskan banyak waktu merawat dirinya sendiri seperti kecoak, khususnya memperhatikan antenanya yang tidak ada.
"Soal makanan, kecoak Oriental paling suka roti kayu manis," kata Samsa, "juga roti putih dan kentang rebus."
Sebelum meninggalkanku sendiri hari itu, Samsa memanduku memulai program meditasi dan afirmasi. Audio disalurkan ke dalam kotak kardus, dan aku mengulangi kata-kata yang diucapkan dengan suara lembut itu, yang disertai alunan erhu—sebuah instrumen Cina bersenar kembar.
"Aku adalah kecoak, aku adalah kecoak," aku bergumam. "Apa yang kubayangkan akan terjadi.”
Aku mendengarkan meditasi ini selama beberapa jam, kemudian pada malam hari aku mengikuti kawan-kawan kecoak keluar dari kardus untuk mengais-ngais makanan di dapur. Mereka merangkak-rangkak menembus kegelapan.
Di sisi konter di tengah-tengah dapur, aku melihat bahwa wanita Cina tadi telah menyiapkan makan besar berupa kertas, lem, bulu mata, tinja, kulit pisang, dan tiga nampan aneka daging yang tertata apik dan ditutupi bungkus plastik. Aku memilih nampan aneka daging dan menghabiskan waktu makan malam merenungkan kejadian hari itu.
Saat kembali ke kardus, aku berpapasan dengan si kecoak pendesis di perpustakaan New Age yang mungil. Dia mengunyah buku Walden. Tanda di atas rak bertuliskan Makanan untuk Pikiran.
Setelah tiga hari melalui proses yang melelahkan, aku terkejut merasakan kesusahanku mulai berkurang. Seperti yang dikatakan Robert Wells dalam memoar perjalanannya yang sangat berpengaruh, Dance of the Green Tiger, ini adalah “awal dari penghujung permulaan.” Aku merasa lebih seimbang dan waras.
Perasaan terbebas ini meningkat seraya hari-hari berlalu. Aku tetap disiplin melakukan yoga dan meditasi, dan ketika membutuhkan perawatan diri, aku memanfaatkan fasilitas spa di dalam hotel, yang dibangun untuk para peserta yang kelelahan dan mempekerjakan penduduk Guangzhou setempat.
Aku menyadari bahwa, saking bahagianya aku hidup sebagai serangga, aku telah sepenuhnya meninggalkan sifat-sifat burukku. Aku tidak lagi mengidam Bacardi Breezers, tetapi kini bir asam hangat kesukaan kecoak. Aku tidak lagi mencoba meminta kokain dari para kecoak lainnya, sekarang aku hanya meminta potongan pisang. Aku tidak lagi mengerti mengapa aku ingin punya tunangan seorang dokter gigi, karena aku tidak punya gigi lagi, hanya rahang yang kuat. Aku tidak peduli andai aku mandul, karena sebagai kecoak betina aku memiliki kapasitas untuk menghasilkan sekitar 2500 anak kecoak dalam setahun.
Sebuah metamorfosis terjadi dalam diriku: berada di antara kecoak-kecoak lainnya, aku berevolusi menjadi makhluk yang lebih tangguh. Kami adalah jiwa-jiwa yang sendirian dalam mencari makna, satu-satunya hal yang menginterupsi kedamaian kami adalah si wanita Cina yang mengantarkan cucian.
Kusadari sekarang bahwa perjalanan ini adalah supaya aku dapat menerima diri sendiri sepenuhnya. Aku mesti meninggalkan Sydney dan menjadi kecoak untuk menemukan dan jatuh cinta kepada diri sendiri, dan memahami bahwa selama ini aku selalu utuh, tidak kurang suatu apa. Aku tahu aku bisa bertahan hidup tak peduli apa pun rintangan yang muncul di hadapanku.
Sulit untuk membuat pengalaman ini dapat dipahami oleh mereka yang tidak pernah merasa takut seperti orang yang tidak berdaya, atau merasa gembira seperti orang yang bangkit dari ketakutannya. Aku hanya dapat mengulangi apa yang dikatakan si pengusaha kepadaku pada suatu malam ketika kami bersembunyi di dalam lemari sambil mengisap rokok yang dia selundupkan. Katanya: menjadi seekor kecoak sangat mirip dengan menjadi tukang kue: Latihan pangkal kesempurnaan.
Setelah tinggal di koloni selama sebulan, aku masuk ke Facebook dan melihat pesan dari Grete menanyakan aku ada di mana. Katanya orangtua kami kebingungan dan telah melaporkanku hilang. Intuisiku mengatakan sudah saatnya untuk pergi.
Aku tahu bahwa aku dapat menimba pembelajaran penting dari waktu yang kuhabiskan di Harbourage dan menerapkannya pada kehidupanku di negara maju. Dengan sikap yang benar, aku dapat terus meresapi sifat alami kecoak, dari kamar tidurku sekalipun, dan menyempurnakan transformasiku. Lagipula, tidakkah alam mengelilingi kita, bahkan di kota besar?
Dengan berurai airmata, aku mengucapkan selamat tinggal kepada Samsa dan kawan-kawan, lalu merangkak ke dalam pesawat untuk kembali ke Sydney—aku bersembunyi di area layanan makanan sampai seorang anggota kru menyeretku keluar. Kembali di Potts Point, aku berbaring di lantai kamar dan tidur.
Setelah bangun, aku melihat orangtuaku berdiri di ambang pintu. Mereka menatapku, tak bisa berkata-kata. Ibu menggenggam tangannya dan menatap Ayah. Dia maju dua langkah ke arahku dan pingsan. Ayah mengepalkan tinjunya, menutupi matanya, dan menangis. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku merangkak melewati mereka dan mondar-mandir di sekitar apartemen, menjelajahi setiap sudut dan celah. Tiba-tiba, Ayah tampak berubah pikiran. Dia mengambil tongkat, menggulung koran, dan memaksaku kembali ke kamar.
Pintu terbanting di belakangku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku tidak dapat tidur di ranjang, jadi aku coba berbaring di kolong kursi malas. Aku mendengar orangtuaku berbisik di luar pintu dengan Grete, yang baru saja tiba.
Ternyata mereka semua telah tinggal di apartemenku tanpa seizinku, menggunakannya sebagai ‘markas’ untuk ‘operasi pencarian’. Mereka bertanya-tanya apakah aku sudah lupa apa artinya menjadi manusia. Mereka berdiskusi dengan serius tentang apa yang mesti dilakukan denganku.
Hari-hari berlalu, dan aku tetap diam di kamar. Rupanya telah menjadi tugas Grete meninggalkan sisa-sisa makanan yang membusuk untukku, dan membersihkan kotoran yang kutinggalkan. Rasa jijiknya terlihat jelas, dan aku bisa merasakan kasih sayangnya kepadaku memudar. Sebisa mungkin, aku tetap meringkuk di bawah kursi malas ketika dia berkunjung.
Akhirnya Grete memutuskan untuk memindahkan semua perabotan agar aku dapat merangkak-rangkak tanpa hambatan. Dia membawa Ibu untuk membantunya. Hanya dalam satu jam, aku kehilangan kursi Arne Jacobsen yang berbentuk seperti telur dan meja tamu Isamu Noguchi—semua akibat Grete terlalu bersemangat untuk menjadi minimalis. Aku mencoba menjelaskan, Barang-barang itu asli! Tetapi dia tidak mengerti. Dia menginstruksikan para pengangkut untuk mengirim barang-barang itu ke alamatnya. Ada lukisan Jeffrey Smart di dinding, dan aku tak mau Grete mengambilnya, maka aku melemparkan tubuhku ke atasnya. Ibuku pingsan.
Tiba-tiba aku melihat diriku melalui mata Ibu, dan menyadari bahwa aku dipenjara dalam tubuh ini. Apa yang telah kulakukan? Aku menjijikkan. Bagaimana aku sampai membuat kesalahan yang tidak dapat diubah ini? Aku merangkak kembali ke kolong kursi malas.
Setiap pagi, Grete duduk bersila di lantai dan memancingku keluar dengan mengajariku alfabet menggunakan kartu buatan sendiri.
“A untuk Apel. B untuk Bola,” ucapnya dan meneruskan, “J untuk Jerapah. K untuk Kecoak. "
"Ya ampun, Grete," kataku, "aku seekor kecoak, bukan seorang idiot!"
Tapi dia tidak mengerti atau bahkan mendengarku. Suatu hari, ketika tengah mengajariku alfabet, dia berhenti. Dengan hati-hati ia mengulurkan jemarinya untuk membelai antenaku, lalu ditariknya kembali karena jijik. Dia mulai terisak, menutupi wajah dengan tangan, dan minta diri. Di luar kamar, dia mengatakan kepada Ayah dan Ibu bahwa mereka harus menyingkirkanku atau keluarga kita akan hancur berantakan.
Dua otakku—satu terletak di tengkorak dan satu di dekat perut—tidak dapat bersamaan memahami dahsyatnya kesedihanku. Aku tidak punya paru-paru, tetapi aku berusaha menarik napas dalam-dalam melalui tubuhku. Oh, Grete, Ibu, Ayah. Aku merasa lemah. Aku kehilangan kekuatan. Aku merasakan angin sepoi-sepoi bertiup masuk melalui jendela, mobil membunyikan klakson di bawah.
Kesadaranku melayang pergi, aku mendengar tanpa telinga panggilan seekor burung myna India di jalan. Ia merintihkan sebuah lagu sedih seiring kiamatku turun.
Referensi
William J. Bell dan K.G. Adiyodi (eds), The American Cockroach, Chapman and Hall, London, 1982.
Paul Davis, The Man Who Kills Cockroaches, Abstraction, New York, 1982.
Walter S. Freeman, Darwin’s Roach, Zulu Press, London, 1951.
Craig Furey, The Voyage of the Cockroach, Big Five, Boston, 2008.
Fred Illingsworth, The Evolution of the Cockroach, Lucknow Ross, Toronto, 1973.
Alexander James, Curious Encounters with the Cockroach, Tanoma, New York, 1965.
Franz Kafka, Collected Stories, terj. Willa Muir and Edwin Muir, Everyman’s Library, London, 1993.
B. Le Roux, ‘Une étude expérimentale des capacités linguistiques de Blatta orientalis’ (‘An experimental study of the linguistic capabilities of Blatta orientalis’), Revue des Cafards, vol. 3, no. 1, 1934, pp. 13–36.
Noah Maher, The Inner Life of Cockroaches, Birdman Books, Auckland, 1988.
William McArdle, The Hidden Life of Cockroaches, Forty Mile, Melbourne, 1960.
Pablo Nolan, The Secret Life of Cockroaches, University of Queensland Press, St Lucia, 2016.
Benedict Nicholls, The Public Life of Roaches, Hammersmith House, London, 2002.
Chad Packer, The Story of the Cockroach, Biome, Minneapolis, 1991.
Bob Rossborough, The Nature of the Cockroach, Explorer Press, Fremantle, 1993.
Bob Rossborough, The Tao of the Cockroach, Explorer Press, Fremantle, 1995.
Bob Rossborough, The Way of the Cockroach, Explorer Press, Fremantle, 1994.
Gregoria Samsa, In Search of Samsa, Gaia Raja, Bellingen, 2010.
Richard Schweid, The Cockroach Papers: A Compendium of History and Lore, The University of Chicago Press, Chicago, 2015.
Robert Wells, Dance of the Green Tiger, Hollingswood, London, 1961.
“C IS FOR COCKROACH”, by Julie Koh, was first published in English by Sydney Review of Books, 27 July 2018. Read the piece here: https://sydneyreviewofbooks.com/c-is-for-cockroach/
JULIE KOH was born in Australia to Chinese-Malaysian parents. She studied politics and law at university, then quit a career in corporate law to pursue writing. She is the author of Capital Misfits and Portable Curiosities. In 2017, she was named a Sydney Morning Herald Best Young Australian Novelist. Her work has appeared in the Best Australian Stories and Best Australian Comedy Writing. Outside Australia, her fiction has been published in Malaysia, Singapore, China, Japan, Ireland and the US. Julie edited BooksActually’s Gold Standard and co-founded the literary collective Kanganoulipo. She is on the Sydney PEN Management Committee. www.thefictionaljuliekoh.com.
ELIZA VITRI HANDAYANI is a novelist and creator of the art events House of the Unsilenced and Fashion ForWords. Her latest novel is From Now On Everything Will Be Different, which explores how free Indonesia really became after the start of democratic reforms in 1998. She is also the founder and editor of InterSastra and a translator. Her translations have appeared in Asymptote, Modern Poetry in Translation, and others. Her short fiction have been included in prestigious anthologies such as The Griffith Review: New Asia Now, Fixi Novo’s Heat Flesh Trash, and BooksActually’s Gold Standard. Find links to some of her works on www.elizavitri.com and greet her via Instagram or Twitter @elizavitri.
HANA MADNESS (born Hana Alfikih) is a Jakarta-based visual artist and mental health activist. In 2012 she talked in national media about her mental health struggles. Her art is her ultimate weapon to be seen, heard, and appreciated by her community. Most of her artworks are her interpretations her mental conditions and turmoils. “They show every beautiful conflict within me that I turn into something beautiful and colorful,” Hana said. She has participated and exhibited her works in numerous festivals and exhibitions. She has also spoken in many seminars about mental health. In 2017 she was honored by Detik.com as one of the “Top 10 most promising young Indonesian artists” and in 2018 by Opini.id as one of the “90 young Indonesians with inspiring works and ideas”.