Kairo Kami
Hidup di Kairo tidak sepenuhnya nelangsa. Sepanjang tahun ada saja saat-saat indah: kala musim panas yang panjang, juga kala musim dingin yang pendek. Saat-saat indah itu biasanya terjadi pada hari-hari libur atau hari-hari tanpa kerjaan. Kata orang Kairo tak pernah tidur, kata orang Kairo compang-camping bagai kain usang. Kairo berpusar dan berkisar. Kairo bercabang-cabang. Kairo berdetak, Kairo berdarah.
Di tempat-tempat kerja dan tempat-tempat ibadah, penduduk Kairo bergerombol. Mereka belanja dan bergegas dan buang air, Roda Produksi terus berputar tak peduli kemacetan. Seperti itulah pemandangan kota ini, dilihat oleh elang yang terbang tinggi. Namun, tikus kecil atau orang kecil yang berputar dalam Roda kolosal itu tak pernah melihat gambar besarnya. Kalau kau pergi kerja dan tunaikan tugasmu, mungkin kau mendapat gaji yang cukup. Andai kau mujur luar biasa dan kau berhasil memanen buah kerja kerasmu, kau tetap takkan ke mana-mana. Entah kau bekerja atau tidak, Roda Produksi terus saja berputar, dan kau hanyut bersama putarannya.
Mona May, aku, dan sekelompok teman pergi ke apartemen Moud di Garden City. Malam sebelumnya kami berpesta di rumah Youssef Bazzi. Di apartemen Moud kami bergadang sampai pagi, mengisap ganja, dan saling mendahului menandaskan sebotol vodka. Aku melihat musik mencair menjadi monyet yang memeluk langit-langit. Perempuan Jerman pirang mengentak-entakkan kakinya menuruti irama. Penis-penis berdiri di sekeliling ruangan. Dalam bahasa Arab yang payah, seorang blasteran Palestina-Amerika berkoar-koar tentang rasisme. Asap, asap di mana-mana, dari rokok dan ganja.
“Bassam,” kata Kiko, menoleh ke arahku dengan mata semerah cipratan darah. “Ada asap di mataku.”
“Santai, baby.” Kuletakkan selembar tisu menutupi matanya dan aku meniupnya dengan lembut. Si cewek Jerman mengamati dengan bingung. Begitu kuambil kembali tisu tadi, dari tanganku menetes kesegaran gelap wajah Kiko. Kutanam kecup di bibirnya.
“Tahu enggak ada orang yang doyan jilat pupil?” tanya si cewek Jerman dalam bahasa Inggris.
“Fetis apa lagi tuh?”
“Aku pernah baca soal itu,” sela Moud.
“Ih, jorok,” kata Kiko, melingkarkan lengannya ke pinggangku.
Apa yang digandrungi anak-anak muda usia dua puluhan di Kairo? Mungkin mereka senang menjilat pupil? Atau menjilat memek? Atau mengisap kontol, atau menjilat tanah, atau menghirup ganja campur obat tidur? Aku penasaran berapa lama sebelum hal-hal ini kehilangan kenikmatannya. Apa benar enak seumur hidup?
Semua orang di pesta ini telah pakai banyak narkoba, selama dan setelah kuliah. Tetapi kami semua masih di sini, masing-masing kami pulau-pulau kecil, tanpa cita-cita yang lebih agung daripada kumpul-kumpul bersama. Kami berhasil tetap hidup dengan menyedot kegembiraan dari satu sama lain.
Mona May berdiri di samping pengeras suara. Matanya ruyup seolah jiwanya telah disedot habis oleh monyet musik di langit-langit, tubuhnya bergoyang merunut ritme.
Setelah beberapa waktu, bosan juga pakai narkoba. Atau, tak cukup lagi. Jika salah seorang dari kami menyerah kepada kecanduan total, hidupnya akan berakhir dalam beberapa bulan. Kami tahu ini dari percobaan dan pengalaman. Kami yang tersisa di kamar ini terlalu pengecut untuk mengakhiri hidup dengan narkoba atau cara lain, mungkin karena kami masih bergelantung pada semacam harapan, semacam cinta atau persahabatan.
Begitu banyak yang Kairo rampas dari warganya, dan tak satu hal pun ia berikan. Kecuali, mungkin, segelintir persahabatan yang langgeng seumur hidup. Itu pun ditentukan lebih oleh takdir daripada pilihan bebas. Ada peribahasa yang mengatakan, “Barang siapa pergi ke Kairo akan menemukan orang yang sepadan dengannya.” Tak ada yang namanya merokok sendiri. Makanan juga hanya lezat apabila ada orang yang menemanimu mengunyah dengan bahagia, biarpun makanan itu mengandung zat penyebab kanker atau apalah.
Di Kairo, kau beruntung jika dapat menguasai nafsu seksmu, jika kau menghargai seks sebagai salah satu sudut persahabatan. Jika tidak, gairahmu akan mengubahmu jadi pemarah dan pendongkol.
Kiko mengusap punggungku. Terasa panas di antara pahaku.
Fajar menggeliat, Moud menghilang ke kamarnya, dan semua orang lain pulang. Terlalu malas untuk pulang ke 6th October City, aku berbaring dan jatuh pulas di sofa. Aku terbangun tak lama kemudian dengan sakit kepala, sepasukan semut berdefile antara otak dan tengkorakku. Aku pergi ke kamar mandi dan menelan salah satu pil yang Moud bawa dari luar negeri untuk melawan sakit kepala akibat minum alkohol. Setelah mandi air hangat, kutelepon Lady Spoon. Kami sepakat untuk makan pagi bersama di Maison Thomas di Zamalek.
Dalam perjalanan ke sana, jalanan bersih diguyur air hujan dan lalu lintas sepi. Hari ini tanggal merah, entah Tahun Baru Islam atau Hari Kemenangan atau Hari Revolusi atau Hari Lele Laut. Apa pun hari rayanya, Kairo terlihat mengantuk dan semua orang sirna. Saat-saat seperti ini aku nyaris tak mengenali Kairo. Kala aku dapat melaju dari Qasr al-Aini ke Zamalek dalam dua puluh menit, aku merasa nyaris seolah Kairo memutuskan untuk jadi lebih ramah kepadaku. Tetapi aku tahu ia menyandang senyum sinis, “Sewaktu-waktu akan kubuat kau terjebak di jalan selama lebih dari satu jam, dan kau takkan bisa berbuat apa-apa kecuali duduk dan mengasihani diri seraya suara-suara jalanan perlahan-lahan menyedot nafasmu keluar dari badanmu.” Nadi terbuka menyemprotkan darah ke sekujur kamar mandi.
Kutemui Lady Spoon di muka restoran. Ia mengenakan gaun putih panjang yang menunjukkan lengannya dan sedikit belahan dada.
“Kamu harum sekali,” katanya, menciumku di kedua pipi.
“Minyak wangi Moud.”
Lehernya yang membuatku jatuh cinta. Ia sembilan tahun lebih tua daripadaku, tapi ia tahu bagaimana cara awet muda, berolahraga secara teratur dan senantiasa makan sehat. Ia cantik, ceria, dan sukses di bidang periklanan. Malang baginya, ia Prostestan dan kebetulan cinta Mesir, dan peluangnya menemukan seseorang dengan sifat-sifat yang sama di Kairo sangat kecil, jika tidak nihil. Ia kuliah di luar negeri sebelum menyia-nyiakan banyak waktu ketakutan menikah atau berkomitmen. Kadang-kadang, ia merasa ingin punya anak. Ia terbiasa berkencan dengan pria yang lebih tua daripadanya, tapi suatu waktu mereka tak lagi tertarik. Mereka yang tertarik tidak membuatnya tertarik. Ini pertama kali ia berkencan dengan seseorang yang lebih muda, dan ia malu menceritakannya pada teman-temannya.
Mona May yang memberinya julukan Lady Spoon. Mereka bertemu pada sebuah konser, kebetulan Lady Spoon mengenakan anting-anting berbentuk sendok.
Ia pakai anting-anting itu hari ini, berayun seiring gerakan tangannya mengiris roti. Meski kerongkonganku kerontang, aku terus merokok sejak bangun tadi pagi. Rokok terasa berbeda di tengah sepoi angin pagi di Zamalek: terasa seperti berkah, gairah, kelembutan dalam nuansa ungu dan oranye.
Kami menyantap telur dengan irisan daging babi terbaik, diimpor dari luar negeri. Setelah madu, selai, dan segelas sari jeruk, aku merasa hidup kembali. Seperti yang dikatakan sang penyair, “Kau bukan dirimu ketika lapar.” Di Maison Thomas, senyum Lady Spoon menyenggolku terbangun di bawah ranjang putih.
Kami menyelusuri jalan-jalan Zamalek menuju ke apartemennya. Lady Spoon menyandang gelang perak tipis di sekitar mata kakinya, dan kuku kakinya dicat merah. Terkadang kami berjalan bergandeng tangan, terkadang lenganku merangkul pinggangnya. Di bawah bayang pepohonan, kami tertawa. Kami menembakkan senyum ke para penjaga yang bertugas di luar berbagai kedutaan, tapi sikap khidmat mereka tak berubah.
Seutas tanya membersit: Apa aku cinta dia?
Tentu saja aku mencintainya. Aku tak dapat menyentuh perempuan yang tak kucintai. Tapi, apa itu ihwal cinta? Hati yang santai, ketegangan dalam jiwa, kehangatan dalam perut. Seperti semua cinta di Kairo, ia selalu siap menghilang. Pencinta pertemanan.
Di apartemen Lady Spoon kami mengisap ganja. Kuusap-usap lututnya sementara ia mengutak-atik komputer mencari lagu lama Madonna. Kusingkap gaunnya ke atas lutut, dan aku meluncur di lantai, ke antara kedua betisnya. Kuangkat telapak kakinya dan kucucup jempol kakinya. Aku mengetuk-ngetukkan lidahku dengan lembut sepanjang tungkainya, hingga aku sampai di lututnya, dan kugempur dengan kecupan.
“Geli!” ia terkikik dalam bahasa Inggris.
Kuberikan cium perpisahan pada lututnya, lalu lidahku melanjutkan perjalanan ke pahanya. Kutanam kecupan, lembut seperti kupu-kupu, di celana dalam tipisnya, kemudian kutarik dengan tangan. Kuceburkan lidahku ke pukasnya. Aku banyak minum malam itu. Aku minum hingga aku merasa haus. Kuservis habis ia dengan lidahku sebelum Lady Spoon menarikku ke kamar, di sana kami menikmati seks dengan pelan dan santai. Ia berbalik dan kuselipkan jemariku di mulutnya. Basah dengan ludahnya, jari-jariku kususupkan ke liangnya. Menggelincir masuk dan keluar. Kusisipkan dari belakang. Kucengkeram rambut pendeknya dan kutarik ke arahku. Kutunggangi ia dengan segenap tenaga lalu berbaring di atas tubuhnya beberapa detik. Aku berguling turun dari tempat tidur dan kulempar kondom ke tempat sampah. Kuberi ia senyum. Telepon berdering.
“Hei, kamu di mana?”
“Mona… Ada apa? Aku di Zamalek.”
“Nanti malam jadi minum bir?”
“Boleh.”
“Aku bareng Samira. Kami mau ke Gunung Muqattam.”
“Kamu ada mobil?”
“Ada.”
“Oke. Bisa jemput aku di Zamalek?”
“Jam berapa?”
Lady Spoon bangkit dari tempat tidur sambil tersenyum lembut. Seks sudah selesai. Kami masih menyandang persahabatan dan niat baik di wajah. Orang-orang saling memangsa di luar sana, kenapa kami tak bisa menjaga hubungan dengan sopan?
“Sejam lagi.”
“Sejam setengah deh. Di luar toko buku Diwan ya.”
“Sip.”
“Daah.”
Setelah mandi sebentar, kucium Lady Spoon dan kutepuk pantatnya, caraku menunjukkan rasa terima kasih atau sesuatu seperti itulah. Rambutku masih basah ketika aku melangkah keluar. Dalam perjalanan menuju Diwan kusiulkan kata-kata itu, “Sip… Daah…” Aku merokok di depan etalase Diwan yang penuh dengan novel-novel populer berbahasa Inggris yang laris manis di bandara dan supermarket—buku yang merendam benakmu dengan lemak dan menggoreng hatimu dengan minyak. Takkan lama sebelum buku-buku itu dijual di KFC. Aku coba telepon Mona, tapi tak diangkat. Lalu kulihat kepalanya mencuat dan tangannya melambai dari jendela mobil Samira. Rambutnya berkibar di angin, musik keras tumpah dari radio. Bendera mengepak di jalan, mobil berhenti, dan aku melompat naik.
Agar sampai ke Gunung Muqattam kami harus melewati sisa-sisa Kota Tua yang membusuk. Anehnya, hari itu hanya makan waktu tujuh menit dari Zamalek ke Jalan Abdul Khaliq Tharwat. Biasanya makan waktu satu setengah jam untuk mencapai Jembatan Azhar di ujung Jalan Abdul Khaliq Tharwat, tapi pada hari yang tidak biasa, seperti hari ini, Kairo tampaknya mencurahkan hadiah kepada mereka yang meniti jalan-jalannya.
Jalan-jalan, terutama di tengah kota, menampilkan paras yang sama sekali baru. Mona mengenakan rok panjang dari kain yang tipis. Kujulurkan kepalaku ke antara kedua kursi depan, kulihat Samira menggulung roknya ke pangkuan dan melinting ganja. Pahanya yang kemilau mencopet perhatianku. Samira mengeraskan volume musik. Gitar Jimmy Hendrix melengking seperti ayam melahirkan telur pertama. Aku membuka jendela seraya kami melewati Jembatan Azhar, dan kuendus bau jinten, merica, dan rempah-rempah. Kami menyeberangi jembatan dan memasuki distrik Husayn. Kucium biji kopi gosong yang, meskipun bukan ahli, bisa kutebak adalah kualitas rendah. Aromanya memenuhi lubang hidungku. Di antara makam-makam di Kota Orang Mati, bau ati yang digoreng dengan asam baterai menggantung bagai awan mendung. Akhirnya kami timbul dari gelombang bebauan yang memenuhi sepanjang jalan hingga ke ujung Gunung Muqattam. Kami pergi ke Bar Virginia dan memesan bir.
Kami hanya bicara tentang hal-hal yang yang meringankan suasana—film yang belum lama kami tonton, musik baru yang asyik didengar, kisah luar biasa dan ganjil yang disampaikan supir taksi, para pelawak kota ini.
Matahari hampir tenggelam, Kairo terhampar di hadapan kami seolah kisi-kisi, gambar dua dimensi di Google Earth. Di tengah kekacauan piring satelit, rumah-rumah yang ampun jeleknya dan bangunan-bangunan semampai, tampaklah sebuah kolam tua. Setitik kecil air, sisa terakhir kolam-kolam yang dibentuk oleh Sungai Nil setelah ia disunat oleh Bendungan Tinggi Aswan. Dari kejauhan terdengar gema suara Muhammad Muhyi, mendendangkan lagu Hafni Ahmad Hasan.
Angin semilir berembus. Embun berkumpul di botol-botol bir hijau. Salam penghargaan antara bir dan peminum kawakan.
Samira bermain dengan teleponnya. Mona mengambil botolnya dan mengadukannya dengan botolku. Ia tersenyum, sejumput rambutnya ditiup angin, di belakangnya Kairo saat matahari terbenam. Selama beberapa saat, kurasakan sesuatu serupa bahagia...
Nukilan novel Istikhdam al-Hayah (Using Life atau The Use of Life) di atas adalah karya Ahmed Naji. Beliau berikut editornya Tarek al-Taher dibawa ke pengadilan dengan tuduhan merusak moral masyrakat. Al-Taher dikenai denda, sementara Naji dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Terjemahan bahasa Indonesia di atas berdasarkan terjemahan bahasa Inggris oleh Ben Koerber. Diterjemahkan dengan seizin Arablit.org.
Tanggal 12 Mei 2016 adalah International Day of Readings for Ahmed Naji, diselenggarakan oleh penulis-penulis manca negara dan didukung oleh antara lain PEN International, English PEN, dan PEN American yang menganugerahi Naji dengan PEN/Barbey Freedom to Write Award 2016. Untuk mendukung Ahmed Naji, lihat kiat-kiat yang direkomendasikan oleh English PEN di sini.
Terjemahan di atas adalah bagian dari serial Sastra Berani atau Defiant Voices yang diterbitkan InterSastra untuk melawan pemberangusan buku serta pengekangan kebebasan membaca dan berdiskusi yang kini mencuat kembali di Indonesia. Juga untuk menunjukkan solidaritas dengan penulis di mana pun yang mengalami sensor dan penindasan. Untuk mengetahui lebih lanjut, mari tengok laman ini.