Panti Jompo

Kjersti Annesdatter Skomsvold

Diterjemahkan oleh Alex NM Simanjorang, Andi Tenri Wahyuni, Retno Wulandari, Ida Nurwidya, Tarie Kertodikromo, Ni Kadek Ayu Winastri, Yasinta Deka Widiatmi, Oni Suryaman, di bawah bimbingan Arif Bagus Prasetyo dan Kari Dickson.

 

Bunyi lonceng kalung sapi membuatku sulit tidur pada malam hari, tapi akhirnya aku tertidur, kurasa, karena bunyi yang sama membangunkanku setiap pagi. Kloneng, kloneng, sepanjang siang, sepanjang malam. Bukan hanya sekali aku terbangun dan memandang padang rumput yang gelap dan berangin, mencari-cari kawanan sapi di balik tiang bendera bercat putih yang diterangi cahaya redup dari satu-satunya jendela. Bayangan suster jaga mondar-mandir di balik jendela, tapi tak seekor sapi pun terlihat. Lalu aku kembali ke ranjang, makan keripik untuk mengusir rasa lapar yang menyiksa, sebelum meringkuk lagi di balik selimut panti. Aku berbaring miring ke kanan, dan alih-alih mendengarkan bunyi lonceng kalung sapi, kusimak suara perempuan tua yang meregang nyawa di kamar sebelah. Tersengal-sengal, ia mengerang dan memuntahkan sekaratnya ke telingaku.

Kami tidur berdampingan, seperti suami-istri, tapi ada dinding tipis yang memisahkan. Kusesali diriku yang tak bisa tidur dan belum bertemu dengannya. Mungkin tak lama lagi aku pun sekarat, aku sering merasa ajalku sudah dekat, waktu berlalu begitu cepat. Tetapi sekarang belum saatnya. Besok aku bertemu dengannya untuk pertama kali, pada hari terakhirku di sini, ia tinggal tulang berbalut kulit yang tergolek di atas brankar, tetapi selama ini aku hanya melihat suster keluar-masuk kamar perempuan itu sambil membawa wajan. Bodil, yang sudah kuanggap kakak perempuanku, mengatakan bahwa itu bukan wajan, tapi pispot. Perempuan itu juga sekarat pada pagi hari, siang hari, ketika aku terpaksa beristirahat di ranjang, atau berbaring di lantai dengan kaki di atas atau di bawah meja nakas agar tidak bosan. Di sini kusadari betapa pentingnya menyeimbangkan istirahat dan aktivitas. Kematian paling sulit dihadapi pada malam hari, mungkin karena renggutan kantuk mengingatkanku pada renggutan maut.

Aku terbangun oleh bunyi keras, membuka mataku, dan dalam keremangan kamar, aku bisa melihat pola mata kayu pada panel dinding. “Kau dengar itu?” kataku, tanpa berani bergerak, kepada teman sekamar di ranjang seberang, dua teman lain menempati kamar di seberang koridor. “Tidak,” jawabnya. Tapi mengapa ia terbangun tengah malam? Dengan hati-hati, aku berbalik ke kiri, menyalakan lampu di samping ranjang. Salah satu ujung ranjang temanku ambruk, sehingga ia tergeletak dengan kepala di lantai, kaki di udara, menatap langit-langit. Dia bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi.

Itu tidak terjadi saat ini. Aku bukan gadis kecil yang mengajak teman-temanku berlibur di vila musim panas Nenek dan Kakek. Aku terbaring seperti manula di panti jompo, jauh di sisi barat negeri ini. Seharusnya aku sedang kuliah di kota lain. Seharusnya aku sedang menikmati masa muda.

Sapi-sapi sudah lama bangun, seharusnya radio sebentar lagi menyala, aku ingin meredam suara batuk perempuan sekarat itu. Dari pengeras suara, mulai terdengar seseorang berbicara tentang Museum Yahudi baru. Walaupun sejarah mereka tragis, kaum Yahudi memiliki selera humor yang luar-biasa sebagai pelipur lara. “Apa bedanya anjing Rottweiler dengan ibu Yahudi? Anjing Rottweiler akhirnya melepaskan cengkeramannya.” Tapi.

Deritaku tak berujung, setiap pagi aku bangun dan berharap maut menjemput. Aku tidak sakit, cuma jelek. Dunia akan segera tahu betapa jeleknya diriku. Andai saja aku orang Yahudi di Kamp Konsentrasi, yang mendambakan kehidupan. Schopenhauer menjadi sangat marah pada seorang lelaki tak dikenal hanya karena lelaki itu berwajah jelek, padahal lelaki itu sudah sial harus menanggung wajah jelek seumur hidup. Schopenhauer beranjak dari meja kafe, langsung menghampiri lelaki itu dan menghajarnya. Tapi.

Aku berdiri dan mematikan radio, tidak sanggup lagi mendengarkannya, aku harus menulikan telinga. Aku akan menjadi pasien yang baik seperti yang lain, tidak terlalu sering merajut, tidak terlalu banyak bicara, tidak terlalu jauh berjalan, tidak terlalu lama membaca. Aku mengambil cuti kuliah untuk berobat, semula aku yakin kesehatanku akan membaik selama di sini, tapi aku tidak mengerti kenapa makin hari penyakitku justru makin parah. Pada musim gugur, aku menelepon beberapa kali untuk memastikan diriku terdaftar dalam program penyembuhan, dan si wanita-kelompok-pendukung mengiyakan, ia bilang aku tidak perlu menelepon terus. Ia memberitahu bahwa aku harus naik-turun tangga untuk menuju ruang makan; memang ada lift, tetapi sangat berisik; selain itu, beberapa program dilaksanakan di gedung lain, lima puluh meter jauhnya; apa aku mampu? “Sepertinya mampu,” kataku. “Lagi pula, masih ada waktu sampai November, aku yakin saat itu kesehatanku sudah jauh membaik.” Kebisuan wanita itu membuatku paham kalau dia mengira aku menderita delusi. Dan aku ingat, setiap kali hendak latihan sepak bola, aku menelepon pelatih dan selalu minta maaf karena tidak bisa ikut latihan. “Tapi aku pasti datang minggu depan,” kataku. Akhirnya, sama seperti wanita tadi, pelatih memintaku untuk tidak menelepon lagi. Bodoh sekali aku mengira mereka akan merindukanku. “Datang saja kalau sudah sehat, Kjersti,” kata pelatih, bertahun-tahun yang lalu.

“Bermain dalam tim sepak bola nasional putra selalu menjadi impianku,” kataku kepada mereka saat sarapan, aku banyak bermimpi setiap kali aku bisa tidur, dan tidak bisa menahan keinginanku untuk menceritakannnya kepada orang lain, betapa aneh bertemu banyak orang setiap pagi. Tidak ada yang tertarik pada mimpi orang lain, kecuali mereka yang menganggap mimpi memiliki arti, bahwa mimpi menunjukkan kepribadianmu, dan merekalah orang-orang yang harus kauwaspadai. “Tapi sekarang mimpi siang bolongku pun telah menjadi mimpi sungguhan di malam hari,” sambungku, “Mimpi siang bolongku mengikutiku ke dalam tidur”. Ketika butuh penghiburan, aku sengaja melamunkan diriku berhasil mencetak gol kemenangan, dan aku diangkat beramai-ramai oleh rekan satu timku yang kuat-kuat. Mathea pasti punya mimpi yang sama, diarak keliling lapangan, ia selalu merasa diarak itu menyenangkan. Tapi.

Aku belum kenal siapa Mathea, dan aku tidak tahu apakah ingatan dari panti jompo dapat dipercaya, rasa mual dan rasa lapar, rasa sakit seperti dipaku tepat di mata, nenek-nenek yang memintaku untuk memakaikan stoking kesehatan, kakek-kakek yang memintaku membelikan majalah porno, bau tubuh layu dan obat-obatan yang tersamarkan oleh musik akordeon dan kue pencuci mulut dan suara yang memekakkan telinga dari TV di sudut ruangan, volume TV harus disetel sekencang-kencangnya supaya para manula bisa mendengar semua berita dari dunia nyata, alam lain nun jauh di sana. Mungkinkah yang aku ingat hanya rasa takut bahwa sia-sia saja aku dirawat di panti jompo, bahwa kali ini aku tidak menjalaninya dengan baik, bahwa aku tidak akan pernah menjadi insinyur komputer.

Sebelum masuk panti jompo, aku menerima surat pemberitahuan tentang keharusan mengenakan jubah kamar, maka Ibu membelikanku jubah kamar berwarna kuning dan aku kelihatan seperti Big Bird yang mondar-mandir antara kamar mandi dan kamarku. Aku mengunci diriku di tempat yang seperti penjara, tempat ini menandai awal dari pengucilanku, hilangnya aku dari dunia luar, makam Paula Schultz yang sepi, koma yang akan dialaminya selama empat tahun. Kebangkitanku kembali ke dunia juga akan dimulai dengan tinggal di penjara, tetapi di tempat lain.

Aku mengeluarkan kado ulang tahun untuk wanita yang terlalu muda untuk kuanggap kakakku, ulang tahunnya sehari sebelum ulang tahunku, yaitu besok. Aku harap Bodil ingat. Dia mengetuk pintuku, setelah aku duduk sendirian selama berjam-jam dalam kamarku, karena takut terlambat aku datang satu hari sebelum yang lain, dan aku langsung menyadari bahwa Bodil sakit dan ia akan menjadi amat bermakna bagiku. Dia sudah lebih bermakna, lebih dari sekadar pertemuan pertama ini. Dia memberiku puisi karya si penyair itu, yang bekerja sebagai penebang pohon, untuk menghiburku saat aku tidak dapat menghadiri malam akordeon. Ada kalanya semua kata menjadi kelabu, ketika derita adalah pemandangan musim gugur, sebilah pisau rapuh tertancap beku di sungai es[1]. Bertahun-tahun dari sekarang, setelah wawancara sungguhan pertamaku, aku mengirim puisi tersebut kepada si wartawan, ingin sekali menunjukkan kepadanya bahwa aku adalah manusia. Tapi. 

Sebelum datang kemari aku sedang membaca tentang paralayang dan arung jeram, tempat ini adalah kiblatnya olahraga ekstrem. Aku sudah pernah ikut arung jeram, aku sebenarnya bukan jenis orang yang bisa duduk diam dengan kaki di atas atau di bawah meja nakas. Aku orang yang suka arung jeram. Percikan air di wajahku saat berusaha menyeimbangkan sisi perahu karet, mendayung sekuat kedua tanganku, pemandu Australia berteriak, “Kiri,” tapi Erik, yang duduk di seberang tempatku, mengira dia berteriak “kanan’, dan saat Erik menghantam bahuku dengan seluruh berat tubuhnya, aku terjungkal ke ujung perahu dan tercebur ke sungai. Aku ditelan derasnya arus, telentang dan menjaga kaki tetap di atas permukaan air agar tidak tersangkut rongsokan yang ada di dasar sungai, sepeda dan kereta bayi yang dibuang orang, kau bisa tenggelam karenanya. Aku berharap akulah yang terhantam tubuh Erik hingga keluar perahu, harusnya aku, akulah satu-satunya yang ia cintai, akulah yang seharusnya hanyut di sungai, tapi itu gadis lain, seorang sahabat hatiku, namanya Hanne.

“Semoga pengobatanmu berhasil, sayang,” ibu Erik berpesan, November telah tiba dan kata-katanya terngiang di telingaku, bersama koperku aku berdiri di stasiun kereta. Berjam-jam kemudian, aku tiba di kiblatnya olahraga ekstrem, aku tak lagi memikirkan tentang arung jeram dan paralayang, aku hanya ingin sampai di panti, tapi tidak ada taksi. Aku kuat dan aku punya peta, tapi tempat ini lebih jauh dari jarak ke kotak suratku yang jauhnya puluhan meter, aku memikirkan tentang perjalanankereta yang panjang dan berguncang yang telah kulalui, semua kata dalam audiobook yang kudengarkan, setiap kata membuatku kian takut karena mereka terlalu banyak, aku memikirkan betapa sedikitnya aku tidur kemarin, aku bangun jam lima pagi agar sampai di sana tepat waktu, aku pikir yang lain pasti telah mulai berkenalan.  

Kekhawatiranku membuat aku terus maju, ibarat cambuk, sambil menyeret koperku sepanjang jalan berkerikil menuju gedung utama, di luar ada minibus yang isinya para manula. Ada yang sedang di kursi roda, ditinggalkan di tangga, ketakutan terlihat di wajahnya seperti topeng yang ingin kulepas, lambaian tangannya seperti ranting patah diterpa angin, tanpa sepatah kata pun yang terucap, bagaimana kalau aku ke sana dan berkata kepadanya kalau mereka tidak melupakannya. Kamu tidak dilupakan.

‘Yang lainnya akan datang besok,’ kata sang resepsionis. ‘Hari ini tidak ada acara.’ Saat menuju kamar aku melihat orang-orang kisut tenggelam di kursi-kursi yang terlalu besar, tubuh-tubuh bau tanah tertatih-tatih di sepanjang koridor, dengan satu telapak tangan menapak di dinding seolah-olah untuk meyakinkan diri bahwa mereka masih ada. Semestinya aku tak berada di sini tapi aku sangat senang berada di sini, lalu kenapa aku selalu begitu sedih. Aku dan Anne Mari bisa saja kembar, seandainya saja aku tidak hanya punya dua adik laki-laki, dia kuliah di kota dekat sini, tapi dia tak bisa mengunjungiku. Kehidupannya begitu meriah hingga hampir meruah, kehidupan kami bergerak ke arah yang berbeda dan mungkin itulah alasan aku perlu menyebutnya saudara kembar.

Aku duduk di ranjang, tetapi apakah karena dinding yang berwarna putih atau gorden yang berwarna-warni, atau orang-orang yang perlahan-lahan mati, seperti kita semua, atau kenyataan tak seorangpun senangbertemudengankudi sini, aku begitu mudah patah hati. Aku harus menjelaskan kepada resepsionisbahwa akuakan tinggal di sini. Ia mengira aku hanya seorang pengunjung. Ia memberikanku kunci kamar tanpa melihatku, dan ketika aku bertanya adakah makan malam hari ini, katanya makan malam sudah selesai dihidangkan, mereka biasa makan pada sore hari di daerah ini. Ayah memanggilku si perut karet, Ibu menjulukiku “anakku yang selalu kelaparan”, aku berbalik, resepsionis telah memalingkan muka. 

Meskipun banyak mengalami kekecewaan dalam hidup, aku tetap percaya hal-hal yang paling menakjubkan akan terjadi padaku, aku pasti bisa sembuh setelah istirahat musim gugur, paling lambat saat Natal, atau saat liburan Paskah, seolah-olah tak mampu belajar dari segala kekecewaanku, dan meskipun aku menghabiskan sebagian besar musim panas hanya berbaring, dirantai ke ranjang, seperti kata orang, aku akan tetap sepenuh hati percaya Erik akan kembali, beberapa kali aku malah nyaris melihatnya muncul dari sudut vila musim panas, mendengarnya minta maaf. Tapi.

[1] Diterjemahkan dari terjemahan oleh Louis A. Muinzer.


THE OLD PEOPLE’S HOME

Kjersti Annesdatter Skomsvold

Translated by a group of Norwegian-into-English translators at BCLT Summer School, University of East Anglia, Norwich, UK. Group leader: Kari Dickson.

 

The sound of cowbells keeps me awake at night, but eventually I fall asleep, I suppose, because the same sound wakes me up again every morning. Cling clang, all day, all night. More than once I’ve got up and looked out at the dark, windswept landscape, trying to catch sight of the cows behind the white flagpole in the light from a solitary window. The night nurse’s shadow passes back and forth across the glowing frame, but never a cow to be seen. So I go back to bed, eat crisps to stave off the worst of my hunger, before crawling back under the white institutional sheets, I lie on my right side and instead of the cowbells, listen to the old woman dying in the room next door. Gurgling and groaning, she coughs out suffering sounds and the last remains of her life in my ear.

We sleep side by side, like a married couple, but with a thin wall between us. I pity myself the most, not being able to sleep, I haven’t seen her. Perhaps it’s now I’ll get the feeling, I often get this feeling that I’m lying on my own deathbed, time passes so quickly. But it’s not yet. I’ll see the woman for the first time tomorrow, my last day here, she’s a bundle of clothes on a gurney, but so far I’ve only seen nurses going in and out of her room with frying pans. Bodil, who is the closest I’ll get to having a big sister, said that the frying pans are bed pans. The woman is dying in the mornings as well, and in the middle of the day, when I’m forced to rest on my bed, or on the floor with my legs on top of or under the bedside table for variation. I’ve learnt that here, how important it is to balance rest and activity. Death is hardest to deal with at night, maybe because falling asleep reminds me of slipping away.

I’m woken by a crash, open my eyes, in the dim light I can see the contours of the knots in the panelling. ‘Did you hear that?’ I say, without daring to move, a friend lies behind my back, on the opposite side of the little room, two other friends in the room across the corridor. ‘No,’ she says. But then why is she awake in the middle of the night? Cautiously, I turn over onto my left side, switch on the bedside lamp. The bed has collapsed at one end, so she’s lying with her head on the floor, legs in the air, looking at the ceiling. She acts like nothing’s happened. But.

This isn’t happening now, I’m not a little girl who’s brought friends to Nanna and Grandpa’s summerhouse, I’m lying like some old person in a nursing home, in the far west of the country. I should’ve been a young student in another city, I should’ve been more in the middle of things.

The cows have been up for a long time, shouldn’t the radio come on soon, I want to drown out the dying woman’s next coughing fit. A voice forces its way out of the speaker, talking about a new Jewish museum, despite the tragic history of the Jews, they have a fantastic sense of humour, it’s been a great help to them. “What’s the difference between a Rottweiler and a Jewish mother? The Rottweiler lets go in the end.” But.

It’s still a long way off, I’ll wake up every morning longing for death, I’m not sick, just ugly, the world will soon see how ugly I am, and I wish I were a Jew in a concentration camp, hungry for life. Schopenhauer, who got so angry with a man, an unknown man, simply for being ugly, punished for nothing, his whole life. He stood up from the cafe table, went straight over and knocked the man down. But.

I get up and turn off the radio, can’t face or don’t dare listen to it, I have to shield myself from sounds, I’m going to be a good patient like the others, always careful not to crochet too much, have too long conversations, take too many steps, read too much at a time. I’ve been given time off from my studies to get better, I’m going to get so much better during this stay and I don’t understand why I just get sicker and sicker each day. I rang several times through the autumn to make sure that I would get a place, and the support-group-lady said yes, and that I didn’t need to ask anymore. She told me about the stairs up and down to the dining room, there was a lift but it made a lot of noise and some of our programme would take place in another building, fifty metres away, could I manage that? ‘I think so,’ I said. ‘Besides, it’s a while till November, I’m sure I’ll be much better by then.’ I understood from her silence that she thought I was suffering from delusions, and I remembered how before football I’d call the trainer and would always have to apologise that I still couldn’t make it. ‘But I’ll definitely come next week,’ I’d say. In the end the trainer asked me to stop calling, just like this lady. I felt stupid, wondered if they weren’t missing me. ‘Just come when you can, Kjersti,’ he said, that was years ago.

‘Playing for the men’s national football team has always been a dream of mine,’ I told them over breakfast, I dream so much whenever I manage to fall asleep and can’t help myself from sharing it with the others, it’s so strange to see people every morning. No one is interested in other people’s dreams, only those who think the dreams mean something, that they say something about your personality, and they’re the people you should watch out for. ‘But now my day dream has become my night dream as well,’ I continue, ‘the daydream has followed me into my sleep.’ When I need comforting, I deliberately daydream that I’ve scored the winning goal and I’m being borne aloft in triumph by a team of strong men, Mathea will dream about the same thing, that she’s being carried around on the grass, she’s always found the idea of being carried appealing. But.

I don’t know who Mathea is yet, and I don’t know if these memories from the nursing home can be trusted, the nausea and the hunger, the pain like a nail in my eye, the old ladies who want me to pull up their support tights, old men who ask me to buy porn magazines, the smell of rotting bodies and doses of medicine, hidden behind a haze of accordion music and cakes for dessert and the ear-splitting noise of the TV in the corner, the old people have to have the volume so loud, so that they get all the news from the real world, the world is another place, and so very far away. Could it be that all I remember is the fear that this won’t help, that I’m not doing it well enough, that I’ll never be a computer engineer.

I received a letter informing me that dressing gowns were obligatory, Mum’s bought me a long yellow one and I look like Big Bird walking between the showers and my room.  I lock myself into what looks like a prison cell, this stay marks the true beginning of my isolation, my disappearance from the outside world, the lonely grave of Paula Schultz, a coma she was going to lie in for four years. My re-emergence into the world will also begin with a stay in prison, but somewhere other than this.

I take out the birthday present for the woman I’m too big to pretend is my older sister, her birthday is the day before mine, my birthday is tomorrow. I hope Bodil remembers. She knocked on my door, after I’d been sitting for hours alone in my room, for fear of arriving late I’d come a day before the others, and I realised right away that Bodil was ill and that she would come to mean a lot to me. She was already something more, more than this first encounter. She gave me a poem by the woodcutter poet, to console me when I wasn’t able to come along to the accordion evening. There are moments when no words gleam, when sorrow is an autumn sight; a withered rush blade frozen fast in[1]. Years from now, after my first real interview, I’ll send the poem to the journalist, desperate to show him that I’m a human being. But.

Before I came here I was reading about paragliding and rafting, this place is a Mecca for extreme sports. I’ve rafted before, I’m not actually the kind of person who lies really still with their legs on top of or under the bedside table, I’m a person who rafts. The spray in my face as I balanced on the edge of the inflatable boat, paddling as hard as I could, the Australian guide shouted ‘left!’, but Erik, on the opposite side of me, thought he shouted ‘right!’, and when he slammed into my shoulder with his full weight, I went over the side and ended up in the river. I disappeared down the rapids, on my back keeping my legs up so as not to get caught in the rubbish on the bottom, bikes and prams people have discarded, you can drown that way. I wish it had been me that Erik knocked overboard, it should have been me, I was the one he loved and I should have been the girl under the water. But it was another girl, my heart friend, her name is Hanne.

‘I’m sure this will do the trick, dear,’ Erik’s mother said, November had arrived and with her words echoing inside me and my luggage in tow, I stood at the train station. Many hours later I arrived at the Mecca for extreme sports, I was no longer thinking about rafting and paragliding, just how I would get to the nursing home, there were no taxis at the rank. I am strong, and I had a map, but this was a lot further than my mailbox, and I thought about the long, shaky train journey I’d just made, all the words in the audiobook, with each word I became more and more afraid there were too many of them, and I thought about how little I’d slept, I got up at five in the morning to get there in time, I thought that the others must already be getting to know each other.

My worries drove me on, like a whip, dragging my suitcase over the gravel toward the main building, outside there was a people carrier with some really old people inside. The man in the wheelchair, left on the stairs, fear showing in his face like a mask I could just take off, the waving hand like a broken branch in the wind, but no words, why didn’t I go over and tell him that they hadn’t forgotten him. You are not forgotten.

‘The others are coming tomorrow,’ said the reception lady. ‘Nothing’s happening today.’ On the way up to my room I saw shrivelled people drowning in chairs that were far too big, carcasses creeping hunched-over along the corridors, one palm flat against the wall, as if to convince themselves that they were still there. I shouldn’t really be here, I was so happy to be here, why am I always so sad. Anne Mari and I could have been twins, had it not been for the fact that I only have two younger brothers, she studies in the city nearby, but she couldn’t visit me. Her life is so full it’s nearly overflowing, our lives are moving in opposite directions and maybe that’s why I need to call her my twin sister.

I sat down on my bed, I don’t know if it was the white walls or the far too colourful curtains, or the people dying, as we all are, or just that no one was happy to see me, it doesn’t take much to knock me off balance. I had to explain to the reception lady who I was, that I’d be living here, she thought I was a visitor at first. She handed me a room key without looking up, and when I asked whether there would be any meals during the day, she said that dinner had come and gone, they eat so early in the country. Dad calls me a bottomless pit, Mum says “my starving daughter”, I turned away, the receptionist was already looking in another direction.

Despite all the disappointments in my life, I still believe that the most fantastic things will happen, that I'll definitely get well again over the autumn break, by Christmas at least, the Easter holidays, it’s as if the disappointments have taught me nothing, and when I spend most of the summer just lying there, chained to the bed as they say, I will still firmly believe that Erik is coming back, on several occasions it’s almost as if I see him coming round the corner of the summerhouse, hear him saying he’s sorry. But.

[1] Translation by Louis A. Muinzer.