Hikayat Cinta

Ak Welsapar

 

Pada suatu waktu, di sebuah desa mungil dekat hutan kecil di kaki gunung, hiduplah seorang ibu dan putranya. Suami sang ibu terjatuh dari tebing sewaktu mengejar rusa gunung, maka janda yang berduka itu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada putranya yang ia manjakan siang-malam. Ketika sang putra menangis, sang ibu mendekapnya erat ke dadanya, dan bila sang putra terjungkal ketika bermain, sang ibu bergegas menggendongnya dan bertanya, “Anak manisku sayang, kamu terluka?”

Sang ibu memiliki firasat kuat yang meyakinkannya ia akan mengatasi segala kesulitan hidupnya, dan hari-hari bahagia akan kembali ke rumahnya. Dengan harapan yang begitu menggebu, bagaimana mungkin ia gagal melindungi putranya dari berbagai bahaya yang menjulang mengintainya?

Sang ibu mengerahkan segala upaya untuk membesarkan putranya agar tak merasakan kehilangan ayahnya, segala daya ia curahkan agar putranya tak merasa telantar, lapar, atau sengsara. Untuk membiayai hidup mereka berdua, sang ibu bekerja sebagai pelayan bagi orang-orang berada, ia menyulam keset dan karpet, ia membersihkan rumah-rumah orang.

Sang putra tumbuh besar memenuhi pengharapan sang ibu. Ia menjadi pemuda yang tangguh dan berani. Sungguh cepat ia dewasa. Terhimpit oleh kerja keras, sang ibu bahkan tidak menyadari bahwa putranya telah beranjak dewasa, hingga suatu hari ia menatap sang putra, tiba-tiba seorang remaja, dan menyadari kumisnya akan tumbuh dalam barang satu-dua tahun lagi.

Sang ibu merasa lega ketika ia melihat putranya menyambar sapu tangan sutra terbaik dalam lomba lompat jauh, dan menyabet hadiah tertinggi pada pertandingan gulat. Sang ibu menghela nafas dan berkata, "Semoga hari-hari sulit kini lalu sudah."

Kemudian, dengan uang yang ia dapatkan dengan membanting tulang, sang ibu membelikan putranya seekor kuda jantan yang elok tanpa tandingan di desa mereka. Sang ibu menyematkan sebuah belati kindjal dengan pegangan putih di pinggang putranya.

"Ambillah belati ini, putraku, ia kenang-kenangan dari ayahmu! Pisaunya terbuat dari baja Merv, pegangannya dari tulang gajah, dan ukiran peraknya dari Urgench. Jika kamu menggunakannya untuk tujuan baik, belati ini takkan menyakitimu, begitu kata orang. Almarhum ayahmu memotong jantung rusa dengan pisau ini dan menghadiahkannya kepadaku untuk dimakan selagi masih berdetak.”

Sang putra, mengenakan pakaian dari sutra, lalu menunggangi kudanya. Sejak saat itu, banyak orang desa menaruh perhatian kepadanya.

Gadis mana yang tak terpancing pandangannya ketika sang putra melintas, mengenakan jubah merah dan ikat pinggang yang dijahit dengan tangan dan sepasang celana tradisional yang apik? Sang ibu mengamati gadis-gadis desa menyingkap lengan baju mereka dan mendesah seraya putranya berlalu, hatinya berdebar-debar sarat kebahagiaan.

Namun, sang putra menunjukkan nol minat pada gadis-gadis itu. Ia lebih suka merasakan semilir angin di ujung telinga kudanya, ia lebih menikmati kedamaian desa dan kecepatannya berkuda. Ia merasa gembira ketika berburu di lembah, atau menjelajahi jalan setapak di pegunungan, atau layaknya seekor elang mengamati keindahan desanya yang terletak di lipatan bentang alam yang dipagari gunung-gunung. Semua itu sumber kesenangan luar biasa baginya; ia bahkan tak dapat membayangkan ada kesenangan lain di luar sana.

Maka pergilah ia memacu kudanya, teman bicaranya hanyalah badai yang mengguncang pepohonan, melongsorkan bebatuan, mengeduk bumi, dan menggetarkan dunia.

Kemudian, di atas kudanya, wawasan sang putra perlahan-lahan meluas. Ia mulai memperhatikan keindahan desa-desa tetangga. Di salah satu desa itu, pada suatu sore, di dekat sebuah mata air gunung, ia berpapasan dengan seorang gadis cantik, sama sekali berbeda dengan yang pernah ia temui sebelumnya. Cinta pada pandangan pertama—terjadi secepat mata keduanya saling bertemu. Orang-orang yang melihat sang putra dan sang gadis berduaan berpikir betapa cocoknya mereka—gadis yang cantik dan pemuda yang tampan. Sungguh pasangan yang pantas! Mereka diciptakan untuk satu sama lain.

Sejak pertemuan itu, sang putra sering menyambangi desa sang gadis, disusurinya jalan menuju ke desanya seperti hendak menunaikan ibadah suci. Ketika orang-orang desa ramai mempercakapkan sepasang kekasih itu, sang ibu yang senantiasa menantikan hari-hari bahagia mendengarkan jantungnya yang berdebar manis dan sabar menunggu hari ketika putranya dan sang gadis sepakat untuk menyatukan takdir mereka.

Membayangkan hari itu saja sudah membuatnya bangga: ia akan mengirim pesan kepada orangtua sang gadis, kedua keluarga mereka akan menjadi kerabat, dan setelah itu mereka akan mengadakan pesta pernikahan termewah sepanjang sejarah! Tentu saja, ia sudah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk pernikahan putranya. Tak lama kemudian, sang ibu membayangkan, ia akan menambatkan kakinya ke tempat tidur bayi dan menghabiskan sisa hidupnya meninabobokan cucunya.

Namun, ikatan cinta mereka tak kunjung ranum. Sang gadis mencintai sang putra, tapi tak terburu-buru menikahinya. Tiap kali sang putra menanyakan alasannya, sang gadis selalu menjawab, “Setelah aku yakin kau mencintaiku dengan tulus, baru aku akan menikahimu.” Ditinggalkannya sang putra untuk menduga-duga sendiri apa maksudnya.

Akhirnya, pada suatu sore, sang putra dan sang gadis bertemu di tempat biasa, sang putra berdiri di hadapan sang gadis dan berkata, "Katakan mengapa engkau ragu. Berapa lama lagi kau akan menyiksaku? Kapan akan kaukatakan apa yang ada di benakmu?"

Sang gadis menatapnya dalam-dalam. "Aku punya satu syarat, kalau kau memenuhinya, mungkin kita bisa..."

“Beritahu aku apa syaratmu, aku akan pasti memenuhinya. Asal jangan kausakiti aku lagi.”

Suara sang gadis yang merdu kini terdengar sangat kasar: “Tidak, tak mungkin kau dapat memenuhinya. Syaratku terlalu sulit untuk manusia mana pun.”

Sang pemuda tulus menjawab, “Katakan! Orang lain bisa jadi tak mampu memenuhi, tapi aku pasti bisa! Kalau aku tak dapat melakukannya, ludahilah mukaku dan umpatlah aku!”

Gadis itu mendelikkan matanya yang cantik telak ke mata kekasihnya. “Cintaku berbeda dengan cinta orang lain. Cintaku tak ada tandingannya.”

“Syarat apa yang akan kauminta?”

“Syaratku sungguh sulit..."

“Katakanlah, biar aku dengar. Di sekitar sini tak ada yang mampu membuatku makan debu dalam pacuan kuda, tak ada yang mampu memilinku ketika bergulat, tak ada yang mampu mengalahkan kejituanku menembak. Siapa selain aku yang dapat memenuhi syaratmu?"

"Kau tahu aku pun dapat melakukan semua itu."

"Kalau begitu, katakan apa syaratmu!"

Sang gadis mulai berkata, “Jika kukatakan…” kemudian berhenti sejenak sebelum melanjutkan: “Tak ada orang di dunia ini yang lebih layak mendapatkanmu ketimbang aku. Tak ada yang dapat mencintaimu lebih daripadaku, tidak juga ibu yang melahirkanmu. Namun, kau selalu lebih mementingkan ibumu daripada aku. Kau tak pernah berhenti membicarakannya!”

Sang putra terperanjat hingga hilang akal. Ia bingung dan tak tahu bagaimana harus menjawab. Karena memang benar ia mencintai ibunya, ia bahkan tak berusaha menyembunyikannya. Maka, ketika ia berkata, “Tidak, aku lebih mencintaimu daripadanya,” suaranya terdengar ragu-ragu. “Ia ibuku dan kau orang yang kucintai. Kau memiliki tempat istimewa di hatiku, ada cukup ruang untuk kalian berdua!”

Sang gadis cemberut, dahinya mengerut menyerupai sayap burung walet.

“Tidak, kau bohong! Tak ada cukup ruang bagi dua perempuan dalam hati laki-laki! Kau harus memilih: aku atau ibumu. Aku tak ingin suami seorang anak mami. Jika kau sungguh mencintaiku, pegang teguh janjimu dan buktikan kau sungguh mencintaiku. Jika kau gagal, kau hanya dapat menyalahkan dirimu sendiri…”

Sang putra menjawab dengan gelagapan, “Sungguh! Sungguh! Sungguh! Bagaimana mungkin aku dapat meyakinkanmu? Akankah kaupercaya jika kubelah dadaku dan kuletakkan jantungku di tanganmu?”

Suara merdu sang gadis kembali. “Tidak. Biarkan jantungmu tetap di dadamu.”

Sang pemuda tak dapat menerima apa yang dikatakan sang gadis, maka ia bertanya sekali lagi, dengan lebih mendesak kini: “Katakan apa yang kaubutuhkan!"

"Kasihan betul laki-laki yang sakit cinta ini! Apa kau masih tak mengerti apa yang kukatakan?”

“Tidak, aku tak mengerti. Ayo katakan, aku sungguh ingin dengar.”

“Kalau memang kau ingin dengar...” sang gadis bimbang. “Kalau memang mau dengar… pergilah dan bawakan aku jantung ibumu!”

Dalam sekedip mata sang pemuda meraih pegangan belatinya, kemudian ia mendesah dalam-dalam dan menggeram... Geramannya menggetarkan pegunungan. Suaranya memucatkan wajah bulan dan menindas bebatuan, mereka mengerutkan pundak ketakutan.

Mengutuki sang gadis dan syaratnya yang menyeramkan, sang putra kembali ke desanya dengan kepala tertunduk. Selama beberapa hari ia tidak makan, tidak pula keluar rumah, hanya melingkar di tempat tidurnya. Sang ibu menatap dengan penuh kekhawatiran seraya sang putra kian lama kian bertambah pucat. Sang ibu merasakan tiap debar derita putranya. Tapi bagaimana mungkin sang ibu dapat membantu putranya, yang sengsara terbakar api cinta?

Setelah berhari-hari, sang pemuda menyadari berbaring di tempat tidur tidak akan menyembuhkan kesusahannya, maka sekali lagi ia menyeberangi gunung ke desa tetangga. Ia menghadapi sang gadis dan memohon kepadanya: “Gantilah syaratmu! Minta apa saja, akan kulakukan apa pun yang kauminta!”

Sang gadis bersikeras.

Setelah itu, sang putra terus saja menyusuri jalan yang memisahkannya dengan kekasihnya: ke sana dan kembali, ke sana dan kembali… Hingga suatu malam ia menemui sang gadis dan berlutut di hadapannya: “Kasihanilah aku, berilah syarat yang dapat kupenuhi! Minta aku potong jemariku, akan kupotong jari mana saja sesuai keinginanmu. Minta aku potong lenganku, akan kulakukan itu juga. Tapi tolong jangan balas cintaku dengan kekejaman! Kekejaman tak terhingga!”

Pendirian sang gadis kukuh. “Tidak! Jadilah laki-laki dan tepati janjimu. Dulu kaubilang kepadaku apa saja yang kuminta akan kaupenuhi. Setelah kaulaksanakan permintaanku, aku akan jadi milikmu. Sebelum itu, anggap aku tak ada. Camkan ini: tak ada perempuan selain aku di dunia ini yang boleh berhubungan denganmu! Kau harus jadi milikku dan hanya milikku. Mengapa aku harus membagimu dengan orang lain? Sana pergi dan bawakan aku jantung ibumu. Aku tak peduli tentang hal lain. Jika kau tak sanggup menunaikan permintaanku, jangan kausalahkan orang lain kecuali dirimu sendiri!"

Sang putra berputar untuk pulang. Sang gadis berteriak memanggilnya kembali. Sang putra terus saja, kepalanya tertunduk sedih.

“Bawakan selagi masih berdetak! Kalau tidak, aku takkan menerimanya!” teriak sang gadis.

Mengetahui ia takkan pernah dapat memenuhi syarat itu, sang putra memutuskan untuk mengempaskan dirinya dari puncak tebing. Ia pacu kudanya ke tepian. Terbersit wajah ibunya dengan airmata mengalir seolah banjir. Ia tahan kudanya. Ia kembali memasuki pegunungan, terus hingga tiba di desanya. Di rumahnya ia tak makan dan tak minum, tak juga dapat tidur. Tak ada kesenangan hidup menyentuhnya. Ia sudah menyerah dan memutar punggungnya kepada dunia. Tapi nestapa tidak juga mengendurkan cengkeramannya, cintanya kepada sang gadis tidak juga memudar. Justru kian membara dan membara. Ia mengirim pesan kepada sang gadis: Aku tak dapat hidup tanpa dirimu, tunggulah aku di tempat biasa pada tengah malam.

Sementara itu, sang ibu merana bersama putranya, mengetahui ia tak mampu menghapus kegetiran putranya yang dilanda sakit cinta. Dengan khawatir ia pandang wajah putranya yang pucat dan makanannya yang tak disentuh. Ia berharap esok akan membawa perbaikan dan mengundurkan diri ke kamarnya.

Sang ibu, kelelahan setelah membanting tulang seharian, tertidur secepat kepalanya menindih bantal. Meski hatinya dicekam cemas, tubuhnya yang letih jatuh terlelap. Amuk badai bandang di tengah malam tidak juga mengusiknya. Walau petir berjolak dan halilintar menggelegar, sang ibu tidur nyenyak dan merasa aman mengetahui putranya berada di dekatnya. Maka, ketika belati pusaka berpegangan putih menggorok dadanya dari perut hingga dagu, sang ibu tak menjerit maupun berteriak. Ketika putranya menyayat jantungnya dan berjalan menjauh, sang ibu hanya merentangkan lengannya hendak menggapainya…

Sang putra tak membuang waktu sedetik pun, ia harus mengantarkan jantung ibunya kepada kekasihnya selagi masih berdetak. Ia pun tak punya waktu untuk sekadar memandang jenazah sang ibu yang ia telantarkan. Ia melompat ke atas kuda yang menantinya di depan pintu dengan jerami di antara giginya. Ia memacunya, mengikuti jalan pegunungan menembus malam kelam. Kuku kuda dan halilintar sahut-menyahut, menghidupkan lembah yang terkubur kegelapan dan tebing yang disembunyikan bayang-bayang. Mencengkeram rahasianya, ia terus menerjang. Teman bicaranya hanyalah badai yang mengguncang pepohonan, melongsorkan bebatuan, mengeduk bumi dan menggetarkan dunia. Ia terburu-buru luar biasa, ditendangnya kudanya agar lari lebih cepat: Ayo! Cepat! Lebih cepat!

Kudanya tampak mengerti ucapannya dan mengebut seolah kesurupan, membawa sang putra yang menggenggam dalam tangannya pengorbanan terberat sebagai upeti cinta. Bulan di angkasa menunjukkan dirinya sesekali, melempar cahaya ke tebing gunung sebelum kembali bersembunyi di balik awan.

Sudah separuh jalan ia lalui... ketika kuda yang ia tunggangi tersandung akar pohon yang mencuat dari permukaan yang tergerus air hujan. Sang putra tersungkur terguling-guling. Terlempar ke antara bebatuan. Jantung sang ibu terhempas dari tangannya, melayang di udara seperti burung tertembak dan jatuh ke jalan setapak…

Sang putra melompat panik dan bergegas memungut jantung sang ibu. Tak lagi berdetak.

Percaya seluruh upayanya sia-sia, sang putra melolong penuh ketakutan. Tapi jantung ibunya belum mati… Saat halilintar padam dan sekelilingnya tiba-tiba sunyi, jantung hangat itu berdetak kembali. Datanglah suara lirih dari jantung yang berdarah: “Anak manisku sayang… Kamu terluka?”


Foto oleh Fanny Eriksson, disediakan oleh penulis.

Foto oleh Fanny Eriksson, disediakan oleh penulis.

AK WELSAPAR adalah seorang penulis yang telah menerbitkan 20 buku lebih. Di Turkmenistan, negara asalnya, buku-bukunya dicabut dari toko buku dan perpustakaan, dan dibakar. Ia mesti meninggalkan tanah airnya, dan kini tinggal di Swedia. Ia tetap tak kehilangan semangat untuk menulis dan menerbitkan karyanya. Novelnya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris berjudul The Tale of Aypi. Untuk informasi lebih lanjut lihat welsapar.com. Cerpen di atas diterjemahkan dari versi bahasa Inggris terjemahan Youssef Azemoun yang diterbitkan Index on Censorship vol. 44 no.2, dengan izin penulis dan penerjemah.

Terjemahan di atas adalah bagian dari serial Sastra Berani atau Defiant Voices yang diterbitkan InterSastra untuk melawan pemberangusan buku serta pengekangan kebebasan membaca dan berdiskusi yang kini mencuat kembali di Indonesia. Juga untuk menunjukkan solidaritas dengan penulis di mana pun yang mengalami sensor dan penindasan. Untuk mengetahui lebih lanjut, mari tengok laman ini.

 

#Defiant_Voices

#Sastra Berani

#SastraTerlarang