Stephen & Angela
Radclyffe Hall
Seminggu sudah berlalu dan Angela belum juga kembali. Ia memutuskan untuk tinggal dua minggu lagi di Skotlandia. Ia menginap di kediaman keluarga Peacock dan takkan kembali hingga setelah ulang tahunnya. Stephen menatap cincin cantik yang dibelinya, berkilau dalam kotak beledu putih. Seperti anak kecil, ia merasa kecewa dan dongkol.
Violet Antrim, yang belakangan ini juga menginap di rumah keluarga Peacock, sudah kembali dengan sikap angkuh. Suatu sore ia menghampiri Stephen dan mengumumkan pertunangannya dengan Alec Peacock. Ia menyampaikannya dengan begitu bersemangat dan sombong hingga Stephen, yang memang sudah senewen sejak awal, menggebu-gebu ingin menamparnya. Violet memandang rendah Stephen karena merasa telah mengenal laki-laki—mengenal Alec membuatnya merasa memahami seluruh spesies laki-laki.
“Sayang sekali kamu berpakaian seperti itu,” kata Violet, “perempuan lebih cantik apabila penampilannya lembut—tak bisakah kamu memilih pakaian yang sedikit lebih lembut? Kamu ingin menikah, ya kan? Perempuan belum lengkap tanpa suami. Tak ada perempuan yang dapat berdiri sendiri, perempuan membutuhkan laki-laki untuk melindunginya.”
Stephen menjawab, “Terima kasih, tapi aku baik-baik saja—tak kurang suatu apa.”
“Ah kamu bohong, tak mungkin!” Violet bersikeras. “Aku membicarakanmu dengan Alec dan Roger. Roger bilang tak baik bagi perempuan berpikiran macam-macam. Menurutnya, seolah ada lebah mendengung di otakmu. Ia bahkan bilang kepada Alec bahwa kamu bisa jadi jelita asalkan kamu berhenti meniru-niru laki-laki.” Ia menatap telak ke mata Stephen: “Kamu benar-benar menyukai Mrs. Crossby? Ya ya, aku tahu kalian teman baik atau apalah, tapi kenapa? Kalian tak punya kesamaan. Roger menyebutnya perempuan kesenangan laki-laki, seutuhnya. Menurutku ia hanya menggunakan orang lain untuk mendapatkan status sosial yang lebih baik. Kamu mau digunakan sebagai tangga? Keluarga Peacock sudah kenal dengan keluarga Crossby selama bertahun-tahun—dan Mr. Crossby, ia niagawan yang hebat, tapi mereka tak suka kepada Mrs. Crossby. Menurut Alec ia gila terhadap laki-laki—entah apa itu artinya. Sekarang tampaknya ia tergila-gila terhadap Roger.”
“Aku tak mau membicarakan Mrs. Crossby,” kata Stephen, “sebab, kamu tahu sendiri, ia sahabatku.” Suaranya sedingin es, sedingin tangannya.
“Tentu kamu merasa begitu,” Violet tertawa. “Tapi sungguh lho, ia suka kepada Roger.”m
Setelah Violet pergi, Stephen bangkit, tapi indra keseimbangannya seolah telah minggat. Kepalanya terantuk keras sisi rak buku yang berat. Ia berdiri dengan limbung, tangannya menekan pelipisnya. Angela dan Roger Antrim—sepasang kekasih—tak mungkin, Violet sengaja berdusta! Ia senang menyiksa orang lain—persis seperti Roger—seorang setan yang sadis dan senang menyiksa. Tak mungkin! Violet pembohong!
Stephen menyeimbangkan diri dan bergegas meninggalkan kamarnya, diambilnya mobil di garasi. Ia menyetir ke kantor telegram di Upton. Ayo pulang. Aku harus segera bicara denganmu! kirimnya, memastikan ia membayar biaya balasannya supaya Angela tak punya alasan untuk tidak membalas.
Petugas telegram menghitung jumlah kata dengan sisi belakang pensilnya, ia memandang Stephen dengan aneh.
Pagi berikutnya datanglah jawaban dingin dari Angela: Pulang Senin dua minggu dari sekarang tidak satu hari lebih cepat tolong jangan kirim kawat lagi Ralph sangat gusar.
Stephen mencabik-cabik kertas itu hingga ratusan serpih dan melantingkannya jauh-jauh. Tubuhnya berguncang dengan amarah tak terkendali.
Hingga Angela kembali Stephen dimotori oleh amarah merah panas. Seperti lidah api yang melompat-lompat dalam nadinya, amarah itu melumerkan tetapi pun merangsangnya, sehingga ia sengaja mengipasi api itu agar ia dapat bertahan.
Akhirnya tibalah hari kedatangan Angela. Saat itu nyaris tengah hari. Angela pasti naik kereta malam pukul 12.47 ke Malvern, lalu naik mobil ke Upton, pikir Stephen. Kini sudah petang. Pada 3.17 kereta Angela sampai di Great Malvern, sekarang tentu sudah tiba—dalam dua puluh menit ia akan melewati gerbang Morton. Setengah jam berlalu. Angela tentu sudah tiba, mungkin sedang minum teh di ruang duduk—ruang duduk berlantai kayu eik dengan burung bullfinch yang kandangnya selalu diletakkan di dekat jendela. Dulu sekali, seabad yang lalu, Stephen tak sengaja memasuki ruang duduk itu, Tony menggonggong, dan si burung bullfight menyiulkan lagu Jerman kuno yang sentimental—tapi semua itu kini tampaknya satu abad silam. Pukul lima. Violet Antrim jelas berbohong—ia berbohong karena senang menyiksa orang. Pukul lima lewat lima belas. Sedang apa Angela sekarang? Ia begitu dekat, hanya beberapa mil jauhnya—mungkin ia sakit, ia belum juga berkirim kabar. Pasti benar begitu, Angela sakit. Mata Stephen terus menatap, penuh rasa lapar dan pedih. Atau, amarah? Kegilaan, delusi, kelemahan runtuh di hadapan rasa lapar. Angela hanya berjarak beberapa mil darinya.
Stephen naik ke kamarnya dan membuka laci tempat ia menyimpan kotak beledu putih tadi. Diselipkannya kotak itu ke dalam saku jaketnya.
Stephen menemukan Angela tengah membantu pembantunya membereskan barang-barang bawaannya, keduanya tampak tertelan bola salju yang terbentuk dari pakaian lembut berantakan. Kamar itu menguarkan bau tubuh Angela, berat dan sedikit menusuk.
Angela menatap Stephen dari balik gundukan stoking sutra. “Halo, Stephen!” Nadanya ramah dan santai.
Stephen menjawab, “Apa kabar, Angela? Sudah berminggu-minggu kita tak ketemu. Perjalananmu dari Skotlandia menyenangkan?”
Pembantunya berkata, “Boleh saya cuci gaun crepe de Chine yang baru ini, Bu? Atau harus saya bawa ke binatu?”
Setelah itu, semuanya terdiam.
Untuk mematahkan kesunyian yang kikuk dan tak senonoh, Stephen bertanya tentang Ralph dengan sopan.
“Dia ada pekerjaan di London selama dua hari, kabarnya baik, terima kasih,” jawab Angela singkat. Ia kembali membereskan stoking sutranya.
Stephen mengamatinya. Angela tak tampak sehat, bibirnya cemberut, ada bayang-bayang baru di bawah matanya—bayang-bayang yang membuat pucat wajahnya semakin kentara. Seolah tatapan Stephen membuatnya berang, ia meremas-remas stokingnya menjadi bola sambil mendesah tak sabar.
“Ya sudah, mari!” katanya, lalu berpaling ke pembantunya, “Tolong cuci gaun-gaun itu, trims.”
Stephen dan Angela menuruni tangga eik tua yang lebar tanpa saling bicara, menuju ke ruang duduk. Stephen menutup pintu, mereka saling berhadapan.
“Jadi, Angela?”
“Stephen? Kerasukan apa pikiranmu hingga kamu mengirim kawat konyol itu? Ralph menemukannya dan bertanya macam-macam. Sungguh kamu tolol kadang-kadang—kamu tahu benar aku tak bisa pulang semauku. Kenapa kamu bertingkah seperti anak enam tahun yang tak punya otak? Kenapa sih kamu ini? Bukan cuma kekanak-kanakan, kelakuanmu berbahaya, Stephen!”
Stephen mencengkeram bahu Angela dan memutarnya hingga ia menghadap cahaya. Dengan nada anak muda yang kasar ia bertanya, “Menurutmu Roger Antrim tampan? Kamu lebih tertarik kepadanya daripada kepadaku?” Ia menanti jawaban Angela dengan kalem.
Namun, air muka yang kalem itu tampak seperti pertanda buruk bagi Angela, ia merasa ketakutan. “Jelas tidak! Aku tak suka pertanyaanmu, Stephen. Aku tidak terima ditanya-tanya seperti itu, bahkan olehmu! Entah dari mana kamu dapat ide-ide konyol seperti itu. Kamu sering membicarakanku ya dengan si Violet itu? Kalau benar, sungguh kurang ajar! Ia cewek berotak terjahat di seluruh negeri! Sungguh tak jantan kelakukanmu itu, sayangku, membicarakan urusanku dengan tetangga!”
“Jelas aku menolak membicarakanmu dengan Violet Antrim,” kata Stephen, masih dengan nada tenang. Namun, ia bersikeras, “Tapi apa aku salah? Tak adakah siapa-siapa di antara kita kecuali suamimu? Angela, tatap aku—katakan sejujurnya.”
Angela menciumnya sebagai jawaban.
Lengan Stephen yang kuat walau murung memeluknya, kemudian diulurkannya untuk mematikan lampu kecil di atas meja hingga ruangan itu kini hanya diterangi cahaya dari perapian. Mereka tak dapat lagi melihat wajah satu sama lain dengan jelas, dan Stephen mengutarakan kata-kata manis yang hanya diucapkan seorang kekasih ketika hatinya terimpit beban berat hingga nyaris retak, ketika keraguannya membungkuk rendah dan dihanyutkan oleh banjir bandang gairahnya. Dalam ruang penuh bayang itu, Stephen mengutarakan kata-kata yang hanya pernah diucapkan oleh para kekasih sejak Tuhan dalam kegilaannya yang manis dan surgawi mengempaskan konsep cinta ke dalam Ciptaan-Nya.
Angela mendorongnya menjauh. “Jangan, jangan, Stephen, aku tak tahan! Semua ini terlalu berat. Hatiku sakit, Stephen, aku tak sanggup menahankannya. Semua ini salah, Stephen, aku tak layak menerima cintamu. Lagipula, semua ini salah, Stephen, aku jadi— Ah, tak bisakah kamu mengerti? Semua ini terlalu—” Ia tak sanggup, tak berani menjelaskan. “Andai saja kamu laki-laki—” Ia berhenti dan meraung menjadi-jadi.
Kali ini berbeda dengan kali-kali lain Angela menangis, Stephen sampai gemetar. Ada rasa ngeri dan putus asa dalam isaknya, seperti tangisan anak kecil yang ketakutan. Stephen melupakan kemeranaannya sendiri, rasa kasihannya kepada Angela membuatnya merasa amat sangat ingin, bahkan butuh, menghiburnya. Lebih kuat daripada sebelumnya kebutuhannya untuk menghibur dan melindungi Angela.
Stephen berkata dengan lembut, “Katakan, ceritakan apa yang salah, Angela sayang. Jangan takut membuatku marah. Kita saling mencintai—hanya itu yang penting. Ceritakan ada apa, dan biarkan aku menolongmu. Jangan menangis seperti ini. Aku tak tahan melihatmu begini.”
Angela menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. “Tak ada apa-apa, Stephen. Aku hanya sangat lelah. Sungguh melelahkan beberapa bulan terakhir ini. Dan aku sungguh manusia yang lemah, Stephen, kadang-kadang kupikir kita berdua ini lebih parah daripada orang gila. Aku pasti sudah gila mengizinkanmu mencintaiku seperti ini—suatu hari kamu akan memandang rendah dan membenciku. Semua ini salahku, tapi aku amat sangat kesepian hingga kubiarkan kau memasuki hidupku, dan sekarang— Oh, aku tak sanggup menjelaskannya, kamu takkan mengerti. Bagaimana mungkin kamu mengerti?”
Begitu aneh dan rumitnya sifat manusia, Angela sungguh-sungguh percaya perasaannya. Pada saat yang penuh takut dan sesal itu, ia mengenang minggu-minggu yang dihabiskannya di Skotlandia, minggu-minggu penuh rasa bersalah. Pada saat yang penuh takut dan sesal itu, ia percaya ia merasakan kasih sayang dan sesal bagi Stephen yang mencintainya, cintanya yang menggelora telah membangun jalan baginya untuk mencintai orang lain. Lemah, Angela tak dapat memisahkan diri dari Stephen, belum dapat, ada sesuatu yang sangat tegar dalam dirinya. Ia tampaknya memadukan kekuatan laki-laki dan kekuatan perempuan yang lebih lembut dan subtil. Angela menimbang Roger, binatang yang kasar dan muda, yang memukau segala indra dengan penampilannya yang cuek dan brutal, dan Angela dipenuhi rasa malu bercampur sesal, ia benci dirinya karena apa yang telah ia perbuat, dan apa yang ia tahu akan ia perbuat lagi, karena dorongan nafsu yang menggebu.
Merasa malu, ia meraih tangan Stephen dan berkata, “Kamu akan selalu memaafkanku, ya kan, Stephen? Aku si pendosa yang laknat ini?”
Stephen menjawab, tanpa memahami maksud Angela, “Jika cinta kita adalah dosa, surga pasti penuh dengan orang-orang yang berdosa seperti kita, orang-orang yang lembut nan baik hati.”
Mereka duduk berdekatan, letih setengah mati, dan Angela berbisik, “Peluk aku lagi, Stephen, tapi dengan lembut karena aku letih sekali. Kamu kekasih yang baik hati, Stephen—kadang-kadang kupikir kamu terlalu baik.”
Stephen menjawab, “Bukan kebaikan hati yang membuatku tak ingin memaksamu—aku tak dapat membayangkan cinta yang seperti itu.”
Angela Crossby terdiam.
Ia ingin sekali mengakui perbuatannya dan meringankan beban di dadanya. Ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, ia merasa sangat bersalah, ia nyaris merasa sakit. Hilang sudah keberaniannya untuk mengaku, pikirannya berkerubung di masa lalu.
Selama ini Stephen selalu menahan diri bertanya tentang masa lalu Angela, oleh karena itu mereka tak pernah membahasnya. Tetapi kini Angela terdorong kebutuhan yang membludak untuk menceritakannya. Ia tidak menganalisa perasaannya, ia hanya tahu ia sangat ingin merendahkan dirinya, memohon kasih sayang, menjumput dari makhluk yang kuat, aneh, dan sensitif di hadapannya ini, makhluk yang mencintainya ini, suatu harapan untuk dimaafkan kelak. Pada saat itu, ia berbaring di sana, dalam pelukan Stephen, dan Stephen tampak luar biasa penting baginya. Sungguh aneh, tapi pengkhianatannya memperkuat tekadnya untuk mempertahankan Stephen.
Angela bergeliat, dan Stephen berkata, “Kenapa kamu masih bergerak? Kukira kamu tertidur.”
Angela menjawab, “Aku belum tidur, sayang. Aku merenung. Ada beberapa hal yang sebaiknya kuceritakan padamu. Kamu tak pernah bertanya kepadaku sebelumnya tentang hidupku di masa lalu—kenapa, Stephen?”
“Karena aku tahu suatu hari kamu akan cerita sendiri,” jawab Stephen.
Angela mulai dari awal. Ia menggambarkan rumahnya di Virginia—rumah yang syahdu dan kelabu dengan jalan masuk bertiang-tiang dan kebun yang menghadap ke Sungai Potomac yang deras dan dalam. Di sisi rumah tumbuh bunga-bunga magnolia dan pohon-pohon tua yang menaungi kebun itu. Pada musim panas kunang-kunang menerangi pepohonan bagai lampu-lampu yang beterbangan lincah di antara rerantingan. Sesekali halilintar menyinari udara musim panas yang manis.
Ia menceritakan tentang ibunya yang meninggal ketika Angela dua belas tahun—seorang makhluk yang menyedihkan, seorang ibu yang tak memadai, keturunan perempuan yang memiliki banyak budak untuk mengurus segala keperluan remeh-temeh mereka. “Ia bahkan nyaris tak dapat memakai kaus kaki dan sepatu sendiri.” Angela menyeringai mengenang ibunya.
Ia bertutur tentang ayahnya, George Benjamin Maxwell—orang yang menawan tapi boros tak tertolong. “Ia hidup dalam kejayaan masa lalu, Stephen, hanya karena ia anggota keluarga Maxwell yang terpandang di Virginia. Ia tak sudi mengakui Perang Saudara telah membangkrutkan kita, kita tak mampu lagi membuang-buang uang. Perang telah meruntuhkan kebangsawanan Selatan, nyaris tanpa sisa. Nenekku masih ingat hari-hari itu dengan baik, ia menyobek-nyobek spreinya untuk membalut serdadu yang terluka. Jika Nenek masih hidup, hidupku tentu berbeda, tapi Nenek meninggal dua bulan setelah Ibu.”
Ia menceritakan bencana yang terjadi ketika akhirnya rumah mereka dijual berikut segala isinya, ia dan ayahnya berangkat ke New York untuk memulihkan kekayaan mereka. Ia baru tujuh belas tahun dan sakit-sakitan. Karena kini ia bercerita tentang kenangan yang diingatnya sendiri, ingatannya tak tercemari imajinasi, kata-katanya terasa semakin hidup dan suaranya terdengar semakin pahit.
“Neraka—sungguh neraka hidupku ketika itu! Begitu jauh kami jatuh. Ada hari-hari kami tak punya cukup makanan. Rumah kami kotor dan dekil. Oh Tuhan, betapa aku benci kota besar yang menyeramkan itu! Bagai monster New York mengimpit dan memangsamu—sampai kini entah kenapa aku tak bisa kembali ke sana tanpa merasa takut. Stephen, kota terkutuk itu mematahkan syarafku. Ayah akhirnya meninggalkan kota itu ketika ia wafat, tapi aku tak bisa mengambil jalan yang sama—aku masih muda dan tak ingin mati. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana. Aku hanya tahu aku dianggap cantik dan gadis cantik selalu punya kesempatan di atas panggung, jadi aku mencari pekerjaan di sana. Demi Tuhan, aku takkan pernah lupa.”
Ia menggambarkan jalan-jalan panjang berliku-liku, wajah-wajah asing yang tak ramah—wajah-wajah seperti topeng. Wajah orang-orang yang memberinya pekerjaan—menatapnya dengan terlalu intim, wajah yang tiba-tiba mencampakkan topeng mereka.
“Stephen, kamu dengar? Aku melawan mereka, sumpah! Sumpah, aku melawan—aku hanya sembilan belas tahun ketika dapat pekerjaan pertama. Sembilan belas, masih kecil, bukan?”
“Lanjutkan,” kata Stephen, suaranya parau.
“Oh, sayangku—sungguh berat bagiku menceritakan semua ini kepadamu. Bayaranku sangat sedikit, tak cukup untuk hidup sehari-hari. Kupikir mereka sengaja membayar kami sedikit sekali—perempuan-perempuan yang lain juga berpikir begitu—tak pernah cukup untuk hidup sehari-hari. Kamu tahu kan, aku tak punya setitik bakat, aku cuma tahu berdandan dan tampil cantik. Aku tak pernah mendapat peran dengan dialog, aku hanya berdansa, itu pun tidak dengan baik, tapi aku punya tubuh yang bagus.” Ia berhenti dan menerawang ke atas, tapi wajah Stephen disembunyikan bayang-bayang.
“Stephen sayang, peluk aku lebih erat, aku ingin rasakan pelukanmu,” kata Angela, lalu ia melanjutkan ceritanya. “Datang seorang laki-laki yang menginginkanku—bukan seperti caramu menginginkanku, Stephen, yang ingin melindungi dan mengurusku, bukan seperti itu! Dan aku begitu miskin dan begitu lelah dan begitu ketakutan. Kadang-kadang sepatuku tenggelam dalam lumpur karena mereka sangat usang, dan aku tak punya uang untuk beli yang baru. Tolong pikirkan itu, sayang. Aku menangis tiap kali mencuci tangan di musim dingin, tanganku berdarah, bengkak, dan gatal. Aku tak bisa terus hidup seperti itu, jadi…”
Jam ukir di atas meja berdentang dengan keras. Luar biasa suara yang keluar dari benda yang kecil dan rapuh itu. Di kebun seekor anjing menggonggong—Tony—mengejar kelinci khayali melalui kegelapan.
“Stephen!”
“Ya, sayang?”
“Kamu mengerti?”
“Ya, aku mengerti. Teruskan ceritamu.”
“Tak lama kemudian ia berpaling dan meninggalkanku, aku mesti melanjutkan hidup seperti dulu, padahal kesehatanku sangat rapuh. Aku tak bisa tidur kala malam, tak bisa tersenyum dan tampak bahagia ketika aku naik panggung untuk berdansa—saat itulah Ralph menemukanku. Ia melihatku berdansa dan pergi ke belakang banggung, kadang-kadang laki-laki suka begitu. Aku ingat berpikir Ralph tidak tampak seperti lelaki yang suka begitu—ia kelihatan, yah, seperti Ralph, tidak seperti lelaki yang suka begitu. Ia mulai mengirimiku bunga, tak pernah hadiah mahal atau sesuatu seperti itu, hanya bunga dan kartu ucapan. Kami kemudian makan siang beberapa kali, dan ia bicara tentang pria yang belum lama meninggalkanku. Ia bilang ia ingin mencambuknya dengan cambuk kuda—bayangkan Ralph mencambuk pria lain! Mereka saling kenal cukup baik, ternyata. Mereka berdua punya bisnis perkakas. Ralph waktu itu tengah mencari kontrak besar untuk perusahaannya, dan itulah sebabnya ia ke New York, dan tak lama kemudian ia memintaku menikahinya, Stephen. Tampaknya ia benar-benar mencintaiku ketika itu, kupikir sungguh baik luar biasa ia—kupikir ia berpikiran luas dan mulia. Demi Tuhan! Ia sudah mendapatkan tubuhku sejak itu—pernikahan kami memberinya kuasa atas diriku, persis sesuai keinginannya. Kami menikah sebelum kami berlayar ke Eropa. Aku tidak mencintainya, tapi bisa apa aku? Aku tak bisa ke mana-mana dan kesehatanku sungguh memudar, banyak perempuan sepertiku bermuara di rumah sakit. Aku tak ingin jadi seperti mereka. Kamu tahu sekarang kenapa aku mesti bertindak dengan hati-hati—ia sering curiga luar biasa. Ia pikir karena aku berpacaran dengan orang kaya ketika tak punya apa-apa aku akan melakukannya lagi sekarang. Ia tak percaya padaku, wajar. Tapi kadang-kadang ia katakan hal itu ke wajahku, dan ketika ia melakukannya, demi Tuhan, aku benci dia! Ya Tuhan, sungguh aku benci dia! Tapi Stephen aku tak sanggup hidup seperti dulu lagi—aku tak punya setetes tenaga tersisa untuk berjuang lagi. Itulah sebabnya, meskipun Ralph bukan suami yang ramah, aku takut setengah mati kalau ia jadi jahat. Ia tak takut untuk menerorku—sudah berkali-kali ia menerorku karena kamu. Tapi tentu saja kamu perempuan, sehingga ia tak dapat menceraikanku—kurasa itu sebabnya ia begitu marah. Sama saja, ketika kamu memintaku meninggalkannya demi dirimu, aku tak punya keberanian untuk menghadapi itu juga. Aku tak sanggup menghadapi skandal yang akan dibuat Ralph—ia akan memburu kita ke ujung bumi, ia akan mengucilkan kita, Stephen. Aku paham perangainya, ia penuh dendam, ia takkan berhenti, lelaki yang lemah sering begitu. Seolah ia menebus kejantanan yang tak ia miliki dengan sifat pendendam. Sayangku, aku tak sanggup jadi miskin lagi—aku tak sanggup jadi orang yang harus selalu hidup di bawah permukaan, hanya timbul ssekali, seperti ikan. Aku sudah mengalami neraka seperti itu. Aku ingin bisa hidup—tapi aku selalu takut. Tiap kali Ralph menatapku aku merasa ketakutan, karena ia tahu aku paling membencinya ketika ia ingin bercinta—” Angela berhenti tiba-tiba.
Kini ia menangis sendiri, membiarkan airmatanya menetes tak terhalang. Salah satunya terpercik ke jaket Stephen dan mengendap di sana—tetes yang mungil dan gelap. Lengan Stephen yang sabar tak berhenti memeluknya erat-erat.
“Stephen, katakan sesuatu—katakan kamu tidak benci aku.”
Sepotong kayu ambruk dalam perapian, membangkitkan lidah api yang tinggi dan cerah. Stephen menatap wajah Angela yang dirusak airmata—ia tampak nyaris buruk rupa, penuh bercak dan kemerahan. Melihat wajah Angela yang memelas itu, dan kelemahan di belakang kedua matanya, Stephen mencintainya begitu dalam hingga ia tak bisa menemukan kata-kata yang dapat mewakili perasaannya.
“Katakan sesuatu! Bicara padaku, Stephen!”
Perlahan-lahan Stephen mengendurkan pelukannya, dan dirogohnya kotak putih kecil dalam sakunya: “Lihat, Angela, lihat yang kubelikan untuk ulang tahunmu. Ralph tak bisa merebutnya darimu, ini hadiah ulang tahun.”
“Oh, Stephen sayang!”
“Aku ingin kamu mengenakannya setiap saat, supaya kamu ingat betapa aku mencintaimu. Sepertinya kamu lupa barusan ketika kamu bertanya apa aku membencimu. Angela, ulurkan tanganmu, tangan yang dulu berdarah ketika musim dingin.”
Mutiara yang murni, semurni berlian ibundanya, Stephen selipkan ke jari Angela. Ia duduk dalam diam, sementara Angela menatap mutiara itu dengan mata terbeliak, terpesona akan kecantikannya. Stephen mengangkat wajah Angela yang penuh tanya, kini bibirnya begitu dekat ke bibir Stephen. Tapi Stephen menciumnya di dahi. “Istirahatlah,” katanya, “kamu lelah sekali. Tidurlah, kau kujaga dengan aman dalam pelukanku.”
Dalam saat-saat itu terasa penuh kebutaan dan kegilaan, keagungan cinta yang menebus segala dosa.
RADCLYFFE HALL (1880-1943) adalah penyair dan penulis novel the Well of Loneliness (terbit 1928). Novel tersebut dihentikan penerbitannya di Amerika Serikat dan divonis cabul oleh pengadilan Inggris karena mengetengahkan kisah cinta lesbian. Kontroversi justru melimpahkan perhatian terhadap novel dan topik tersebut. Banyak pihak dan penulis tersohor, seperti Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald, dan Edna St. Vincent Millay, membela penerbitan novel tersebut. E.M. Forsters dan Virginia Woolf menulis pernyataan membela kebebasan semua orang untuk menulis dan menyelusuri tema apa saja yang memungkinkannya menciptakan seni.
Terjemahan di atas adalah bagian dari serial Sastra Berani atau Defiant Voices yang diterbitkan InterSastra untuk melawan pemberangusan buku serta pengekangan kebebasan membaca dan berdiskusi yang kini mencuat kembali di Indonesia. Juga untuk menunjukkan solidaritas dengan penulis di mana pun yang mengalami sensor dan penindasan. Untuk mengetahui lebih lanjut, mari tengok laman ini.