Malaikat Pemberontak
John Milton
Terjemahan Eliza Vitri Handayani
Kisahkan, Dewi Seni, sebab pandanganmu tiada terhalang
oleh Surga maupun relung Neraka; kisahkan apa yang mulanya
menggusur Leluhur manusia dari Bahagia,
penghuni surga yang sangat disayang, hingga mereka jatuh,
jauh dari Sang Pencipta, dan melanggar satu larangan-Nya,
padahal dulu mereka khalifah semua dunia.
Siapa yang awalnya menggoda mereka hingga lancang?
Ular Neraka. Ya, dia. Bujuk-rayunya
penuh dengki dan dendam. Ia memperdaya
Ibunda manusia. Kesombongannya mengenyaknya
dari surga, berikut semua kumpulan Malaikat Pemberontak.
Dengan pertolongan mereka, ia bercita-cita
meraih kejayaan di atas sesamanya.
Tentu ia pikir telah menyamai Yang Maha Tinggi,
jika ia melawan dan dengan penuh ambisi
menentang tahta dan kerajaan Tuhan,
mengobarkan perang laknat di Surga,
dan bertempur dengan sombong dan sia-sia.
Yang Maha Kuasa mengempasnya dengan segenap tenaga.
Ia terbakar, jatuh dari langit yang menyala, hingga
hangus dan remuk, terjerembab ke kebinasaan tanpa dasar.
Biar di sana ia tinggal, terbelit rantai adamantin dan kobar
api hukuman. Ia yang berani angkat senjata melawan Yang Maha Kuasa.
Sembilan kali waktu yang mengukur siang dan malam
bagi manusia fana, Sang Malaikat Pemberontak dan konco-konconya
tersungkur kalah, berguling, meronta di teluk Neraka.
Takluk, tapi Terus Hidup, dan kini nasibnya
justru mekarkan amarahnya. Sekarang ia kenang
bahagia yang hilang, dan derita yang panjang
menyiksanya. Matanya yang murung memandang
sekeliling, dilihatnya kesakitan perih dan kebingungan
bercampur kesombongan, kebabilan, dan kebencian
yang teguh. Seketika, sejauh matanya menembus, ia
sadari situasinya yang terpuruk, remuk, dan celaka.
Penjaranya mengerikan, tiap jengkal berpijar
bagai api unggun akbar, tapi api-api itu
tak memberi cahaya, hanya gelap-tampak,
hanya memunculkan pemandangan penuh sengsara.
Negeri yang merana, bayang-bayang berduka,
ke sana damai dan rihat tak pernah singgah,
asa pun tak sudi mampir. Hanya siksa tanpa akhir
terus bergolak, banjir api melumat
belerang mentah yang terus menyala.
Tempat ini disiapkan sebagai Keadilan Abadi
bagi mereka yang memberontak. Di sini
penjara mereka didirikan, di kegelapan total,
dan tempat ini terletak sejauh mungkin
dari Tuhan dan cahaya Surga—
tiga kali jarak bumi ke ujung sumbu semesta.
Oh, betapa berbedanya dengan tempat asal mereka!
Sementara rekan-rekannya kewalahan menghadapi
banjir dan angin puyuh api yang membadai,
ia memperhatikan, terpincang-pincang ke sisinya,
seorang yang nyaris sama perkasanya, nyaris sama jahatnya.
Setelah ini di Palestina ia dikenal dengan nama Beelzebub.
Kepadanya, Musuh Utama Surga, yang disebut Setan
memecah sunyi mencekam dan berujar lantang:
“Beelzebub, ini engkau? Oh, betapa jauh kau jatuh!
Betapa jauh kau berubah dari engkau yang dulu,
di Surga yang berseri, terbalut cahaya sempurna,
lebih cerah daripada semua yang juga cerah!
Jika kau memang dia yang dulu berpikiran serupa,
bertujuan serupa, bersama-sama berharap
dan mengambil risiko dalam Perjuangan Jaya,
bergabunglah lagi denganku! Kini sengsara
telah menyatukan kita dalam keruntuhan.
Lihat jurang tempat kita jatuh,
dari tempat tinggi sekali! Ia telah buktikan
betapa lebih kuatnya Ia dengan halilintar-Nya.
Siapa dulu bisa duga keperkasaan lengan-Nya
yang mengerikan? Namun, aku tidak takut,
aku tidak menyesal dan tidak bertobat,
biar apapun lagi yang dilakukan si Jawara gagah itu,
biarpun Ia mengamuk lagi. Walau cahaya luarku redup,
benakku tak goyah, benciku tetap membara.
Karena harga diriku dihina, kubertengkar dengan Yang Maha Perkasa,
lalu ke dalam perseteruan sengit itu kugiring
armada demi armada malaikat-malaikat bersenjata
yang berani mengkritik pemerintahan-Nya, dan kuajukan
daya tandingan untuk melawan daya abadi-Nya.
Pecahlah pertempuran di Surga, dan kuguncang
singgasana-Nya. Sekarang, Surga telah lepas... tapi tak mengapa!
Tidak semuanya musnah: kehendak ini takkan tunduk!
Kubersumpah akan balas dendam! Benciku lestari,
nyaliku takkan mengalah dan takkan menyerah!
Maka apalah yang tak dapat kita taklukkan?
Baik murka-Nya atau perkasa-Nya takkan pernah
merampas harga diriku dariku. Menunduk dan memohon
ampun dengan lutut tertekuk? Mengagungkan kekuatan-Nya
karena takut akan tentara-Nya, padahal sebelum ini
kupertanyakan kekuasaan-Nya? Itu sungguh rendah,
itu laknat dan aib lebih parah daripada kejatuhan ini!
Adalah Takdir kita tak bisa mati, seperti dewa-dewi,
maka setelah kekalahan hebat ini,
kita harus jadi lebih bijaksana, kita harus belajar,
supaya dengan lebih baik kita bisa
kobarkan perang abadi—dengan senjata atau tipu daya,
melawan Musuh Utama kita, yang kini berjaya, bersuka ria,
berkuasa tanpa kendali, Sang Tiran Surga.”
Begitu bicara si Malaikat Murtad, meski kesakitan,
menyombong keras-keras, meski sungguh putus asa.
Dan menjawablah segera rekannya yang kekar:
“Wahai Pangeran, wahai Perwira Armada Malaikat,
yang memimpin kami di depan dalam perang yang dahsyat,
berkat perbuatanmu, berkat tindakanmu yang gagah,
kita berhasil menggoyahkan Raja abadi di Surga—
walau kali ini kekuasaan-Nya terbukti menang,
entah karena mujur atau memang lebih perkasa.
Namun, kini kulihat dan kuratapi akibat perbuatan kita yang celaka.
Tergelincir dan kalah, kita kehilangan Surga,
dan pasukan kita hancur dan tersungkur.
Tapi benar, seperti dewa-dewi dan makhluk-makhluk langit,
kita tak bisa mati. Benak dan jiwa kita takkan goyah,
semangat sebentar lagi akan pulih,
walau kita kalah kali ini, dan bahagia kini
ditelan nestapa tak berbatas.
Namun, bagaimana jika Ia yang menaklukkan kita
(sekarang aku percaya Ia memang Maha Perkasa,
sebab jika tidak, tak mungkin Ia mengalahkan kita)
sengaja membiarkan jiwa dan semangat kita
utuh supaya kita rasakan sakit dan luka-luka
sepenuhnya, supaya kita rasakan benci dan dendam-Nya
sehabis-habisnya, supaya kita bisa jalani hukuman
lain yang lebih parah sebagai hiburan-Nya?
Ia anggap kita hadiah pemenang perang,
apa pun yang Ia inginkan mesti kita lakukan
di jantung Neraka ini, untuk-Nya mengaduk api,
menjadi budak-Nya di relung-relung kelam ini.
Maka apa gunanya, meskipun kekuatan kita sembuh kembali?
Apa gunanya hidup abadi dalam penjara abadi?”
Kepada sahabatnya lekas-lekas Lucifer menjawab:
“Malaikat Jatuh, kita sengsara karena kini kita lemah.
Tapi akan ini yakinlah: takkan lagi kita wajib berbuat baik,
kita akan bersenang-senang berbuat buruk.
Dengan begitu kita menentang kehendak-Nya,
musuh kita. Jika kemudian dengan sabda-Nya
Ia jadikan baik segala kejahatan kita,
kita mesti berupaya mencegahnya,
dan mencari dalam kebaikan suatu kejahatan.
Tentu kita mesti berhasil, walau hanya beberapa kali,
dan Ia pasti gusar jika kita sukses melencengkan
keinginan-Nya dari mencapai tujuannya.
Lihat, si Jawara pemarah itu telah memanggil
tentara-Nya kembali ke Gerbang Surga;
badai belerang yang Ia tembakkan kepada kita
bagai cambuk-cambuk meteor dari tebing Surga
tempat kita jatuh, dan Halilintar yang menyambar
dengan guntur merah dan murka menggelegar,
telah reda. Tak lagi terdengar pekik-bentaknya
terpantul-pantul di relung-relung luas tak berdasar.
Mari, jangan buang kesempatan ini.
Mungkin Ia tak sudi lagi mengejar kita,
mungkin amarah-Nya telah terpuaskan.
Lihatkah kau padang mengerikan di depan sana—
telantar, kerontang, sarang putus asa, hampa cahaya,
kecuali pijar pucat dan seram dari kilau api
yang dahsyat ini? Mari kita ke sana, jauh dari
hempasan ombak-ombak api di sini.
Mari kita beristirahat di sana, jika itu mungkin,
kita kumpulkan kembali tenaga kita yang pecah,
kita rundingkan kembali strategi kita untuk menyerang
Musuh kita, kita bicarakan bagaimana mengatasi kekalahan,
bagaimana menghadapi kemalangan,
hiburan apa yang bisa kita peroleh dari Harap,
jika tak mungkin sepenuhnya lepas dari Putus Asa.”
Begitu Malaikat Pemberontak bicara kepada sahabatnya.
Ia berjalan dengan kepala terangkat di atas ombak, matanya
berpijar dan berpendar. Tubuhnya dari leher ke bawah
terbakar samudra api yang menghampar panjang dan luas.
Ia mengapung seperti bongkah-bongkah kayu,
tubuhnya sebesar monster-monster dalam legenda:
para Titan, putra-putri Gaia yang berani melawan Jupiter,
Briareos atau Typhon, yang ditawan oleh Tarsus yang uzur,
atau Leviathan, monster laut itu, ciptaan Tuhan terbesar
yang berenang-renang di biru samudra,
ia riang terlelap di pantai Norwegia
hingga seorang kapten atau kelasi kapal
mengiranya sebuah pulau dan menancap jangkar
di kulitnya penuh sisik, dan terdampar di sisinya,
sementara Malam merengkuh Lautan dan berharap
Pagi tak kunjung tiba. Seperti itulah Malaikat Pemberontak
tadi terbaring, dirantai ke danau neraka, dan takkan bisa ia
mengangkat atau menyelamatkan kepalanya, tanpa izin dan
kehendak Penguasa Surga, yang membiarkannya
bebas merancang rencana-rencana kelamnya,
supaya dengan kejahatan demi kejahatan
ia timbun dosa dan kutukan, dan seraya ia bujuk manusia
supaya berbuat jahat, ia akan lihat bagaimana
perangai buruknya hanya mengakibatkan Kebaikan
Tanpa Batas, ampunan, dan belas kasihan bagi manusia
yang digodanya. Tapi untuk dirinya sendiri hanya
kebingungan, gemetar, dendam, dan murka.
Dari kolam api ia bangkit dan tegakkan
tubuhnya yang perkasa. Kedua tangannya
mengipas mundur lidah-lidah api yang menjulang,
hingga api pun surut, bergulung-gulung
dan berembus-embus, ke tengah lembah penuh celaka.
Kemudian, dengan sayap terkembang ia melesat
tinggi, menerjang udara senja dengan bobotnya yang luar biasa.
Ia turun ke daratan seberang, tapi daratan itu sebenarnya
padang lahar yang mengepul dan melepuh.
Meski padat, ia sama panasnya dengan danau neraka
yang penuh api-cair. Ia tampak berwarna sama
seperti bukit yang diempas angin puyuh bawah tanah
dari Pelorus, seperti sisi gunung Aetna yang teriris petir,
yang runtuh dan jadi bahan bakar bagi api
yang berjolak, sarat akan belerang dan mineral,
dibantu oleh angin, akhirnya hanya tersisa
tanah yang hangus, berasap, dan tengik.
Hanya seperti itulah tempat istirahat yang tersedia
bagi kaki-kaki yang telah kehilangan berkah.
Malaikat Pemberontak dan sahabatnya merasa lega
dan bangga telah lolos dari Maut, seperti dewa-dewi.
Dan kini tenaga mereka telah pulih, mereka yakin
berkat upaya sendiri, bukan berkat restu Surga.
“Apa ini padang yang kulihat tadi? Seperti ini rupanya?”
rintih si Malaikat Tinggi yang sesat, “Ini
rumah kita sekarang? Negeri muram ini
sebagai ganti Surga penuh cahaya? Biar!
Sebab Ia yang kini berkuasa dapat memerintahkan
dan mendiktekan apa yang Benar. Semakin jauh dari-Nya
semakin baik. Meskipun akal kita sepadan,
kekuatan membuat-Nya berkuasa di atas kita.
Selamat tinggal, Surga permai! Selamat tinggal, Bahagia!
Salam jumpa, Horor! Salam jumpa, Angkara Murka!
Wahai Neraka Jahanam, terimalah tuanmu terbaru:
benaknya takkan terbujuk oleh Ruang dan Waktu.
Benak itu semesta sendiri, ia mampu
mencipta Surga dari Neraka, Neraka dari Surga.
Siapa peduli di mana, selama aku masih aku.
Dan mengapa aku mesti merasa rendah?
Aku tak kurang dari Ia yang diagungkan Halilintar!
Setidaknya di sini kita bebas.
Yang Maha Kuasa tak menjadikan negeri ini
sebagai sasaran iri, Ia takkan mengusir kita lagi.
Di sini kita merdeka, di sini kita berdaulat, dan
berdaulat adalah tujuan mulia, sekalipun di Neraka.
Lebih baik berdaulat di Neraka daripada menghamba di Surga.
Mari kita panggil kawan-kawan setia kita,
rekan-rekan yang membagi sengsara kita.
Jangan biarkan mereka terus terkapar di kolam api.
Lekas, panggil mereka supaya ambil andil
dalam Istana yang sedih ini. Kelak sekali lagi
bersama-sama kita akan coba
merebut kembali Surga dan memulihkan segala
yang dirampas dari kita selama di Neraka.”
JOHN MILTON (1608-1674), berasal dari Inggris, banyak membela dan menulis tentang kebebasan. Pada usia 34 tahun ia menyusun argumentasi mendukung perceraian, dan menimbulkan kontroversi di parlemen, gereja, dan masyarakat umum. Karyanya itu disensor sebelum diterbitkan. Sebagai tanggapan, Milton menulis dan menerbitkan Areopagitica, sebuah pidato membela kebebasan berekspresi. Hingga saat ini karya itu banyak dipuji sebagai salah satu dokumen terbaik yang mengangkat tema itu.
Milton menjadi buta pada 1652 dan menulis syair "When I Consider How My Light is Spent". Ia merampungkan karyanya yang paling terkenal, Paradise Lost, pada 1663. Epos itu diterbitkan pada 1667, meraih sukses yang luar biasa, dan hingga kini sering disebut sebagai salah satu karya bahasa Inggris terbaik sepanjang sejarah. Karya-karya Milton lainnya termasuk History of Britain (1670), Paradise Regained (1671), dan Samson Agonistes (1671). Milton wafat pada 1674. Sebuah monumen untuk mengenangnya didirikan di Poets' Corner, Westminster Abbey.
ELIZA VITRI HANDAYANI adalah penulis, penerjemah sastra, dan pendiri InterSastra. Novel terbarunya berjudul Mulai Saat Ini Segalanya Akan Berubah (Obor, 2015).