Poems by Avianti Armand
TRIBUTE TO JUNYA ISHIGAMI
Translation by Avianti Armand and Eliza Vitri Handayani
CUBE
He drifts in the drifting giant cube. Inside there are only he and the rooms inside his head, crashing and colliding. Noise fills the rooms, much more than he can imagine, the cube at first deserted now rowdy and rapt. There are yesterday’s sounds that push wildly to pierce through today’s walls, but they fail, and thereupon sprawl in the farthest corner. There are children’s voices plunged into the river underneath the plane, then they are lost, before he even has the chance to flip it. There are sounds from the next second, unraveling to become letters with wings floating at the ceiling. For a moment they are limpid, but then condense into drips of water.
His tongue is suddenly salty. He knows now, tomorrow holds many sharp nooks.
TABLE
If only I could choose, I would only choose one white plane with the width of a sleeve, the length of a year, and the thickness of silence, which I would hang cordlessly at the height of memories.
On it I would lay my household utensils: piles of dust and old news which form an image of a tree, a cactus whose thorns puncture its own heart, a teddy bear whose curls cover a hollow on its chest, a black-eyed girl in white (those eyes never blink) with strides as fragile as glass, green bottles that hold moss and mist, lumps of cotton which once dripped into showers of acid and vinegar, feeble paper umbrellas whose trellis broken off one by one in the downpour, and one letter with one line from you: defying gravity is as easy as seizing dreams.
But in the fluid air, there is always something trembling. No, not my voice, but the hazy line between the heart and the hours.
People ask: where are the utensils of your heart? I say: the utensils of my heart have been arrayed beneath the table legs when nails ripped the hours.
PAVILION
Reality has hidden the outside from the inside and the inside from the outside. And you place the trees so carelessly inside glass boxes, so they’d believe they remain outside while safe inside. The fertile soil stick out its tongue, it too believes the rain, despite the roof, will someday come down. And the leaves are still hiding worms under their arms when sunshine vanishes before dusk. And on the white walls of the Pavilion you’ve drawn leaves and vines with coals so they’d believe they have escaped from the outside to the inside. And a woman without a voice waters the stone-roofed house behind the hills—not green, but black.
You say: let’s bring these chairs outside so we can have a picnic—bread with a slice of butterfly wings and a sprinkle of dragonfly eggs. Then you depart from the outside for the inside and never leaves.
Years later, in the middle of the Pavilion, I find a lump of tree with your features.
FOREST
What I see is surely only a mirage when on one spring morning a white forest seeps out of the pores of the hot black asphalt. But you who never lie scatter thousands of birds in the sky to make me believe.
“What you hear is what you see.”
But I only hear 305 different days. And the hands of a clock that turn this way and that.
“Are we talking about the weather?”
You nod happily and extend a hand through the branches to catch the tail of a star shooting five meters above us.
“Here,” you say, “for you to scatter around the forest.”
We walk together to the edge where everything ends.
Forty seven to the right, forty six to the front, and back again, sprinkling star seeds that grow into paper chairs, tables, flowers in clay pots, people, and a wing of an airplane.
“We will take good care of everything.”
But the shadows lean west, before the rain has a chance to settle. And you will not believe that the story has past.
“Are we talking about the weather?”
The weather is a complicated matter.
What I see is surely only a mirage when the cloud erases everything empty. But you who never lie catch the wind and stuff it in my ear. It whispers: “… long ago... long ago…”
© Avianti Armand.
Translation © Avianti Armand & Eliza Vitri Handayani.
TRIBUT UNTUK JUNYA ISHIGAMI
Avianti Armand
KUBUS
Dia melayang dalam kubus raksasa yang melayang. Di dalamnya hanya ada dia dan ruang-ruang di dalam kepala yang saling siku dan beradu. Dalam ruang-ruang itu ada lebih banyak bunyi dari yang bisa dia bayangkan hingga kubus yang semula sunyi kini gaduh dan penuh. Ada suara-suara dari kemarin yang blingsatan mencoba menembus dinding hari ini tapi gagal, lalu terkapar di sudut jauh. Ada suara-suara kanak-kanak yang tercebur ke sungai di bawah bidang lalu hilang, sebelum ia sempat membaliknya. Ada suara-suara dari detik nanti yang terburai jadi huruf-huruf bersayap yang melayang-layang di langit-langit. Sejenak mereka bening, dan ketika satu sama lain bertumbuk, luruh jadi titik-titik air.
Lidahnya tiba-tiba asin. Maka ia tahu, masa depan menyimpan banyak sudut yang tajam.
MEJA
Seandainya aku bisa memilih maka aku hanya akan memilih satu bidang putih selebar lengan sepanjang tahun setebal sunyi, yang kugantung tanpa tali setinggi memori.
Di atasnya akan kuletakkan perkakas rumahku: tumpukan debu dan berita lama yang membentuk gambar pohon, pohon kaktus yang durinya mencocok jantung sendiri, boneka beruang dengan ikal yang menutupi lubang di dada, gadis kecil berbaju putih bermata hitam (mata itu tak pernah berkedip) yang langkahnya segetas gelas, botol-botol hijau penyimpan lumut dan kabut, gumpalan kapas yang pernah luruh jadi hujan asam dan cuka, payung kertas yang tak pernah keras - yang jarinya putus satu-satu ketika hujan deras, dan sepucuk surat darimu bertuliskan sebaris saja: Melawan gravitasi sama mudahnya dengan menangkap mimpi.
Tapi di udara yang cair selalu ada yang gemetar. Bukan, bukan suaraku. Melainkan batas yang tak jelas antara hati dan hari.
Orang-orang mungkin bertanya: mana perkakas hatimu? Aku jawab: perkakas hatiku sudah kususun di kaki meja ketika hari koyak pada paku.
PAVILIUN
Realitas telah menyembunyikan luar dari dalam dan dalam dari luar. Lalu pohon-pohon kau letakkan begitu saja dalam kotak-kotak kaca agar mereka percaya bahwa mereka tetap berada di luar juga aman di dalam. Dan tanah gembur itu menjulurkan lidah, percaya bahwa hujan yang terhalang atap akan jatuh pada mereka satu hari kelak. Dan daun-daun tetap menyembunyikan ulat di ketiak mereka ketika sinar terbang lagi sebelum petang. Sementara pada tembok-tembok putih Paviliun itu telah kau gambarkan daun-daun dan sulur-suluran dengan arang hitam agar mereka percaya bahwa mereka telah berhasil pergi dari luar ke dalam. Dan seorang perempuan tanpa suara menyirami rumah beratap batu yang terletak di balik bukit – tidak hijau, tapi hitam.
Katamu: mari bawa kursi-kursi ini ke luar supaya kita bisa berpiknik – roti dengan selapis sayap kupu-kupu dan taburan telur capung. Lalu kau berangkat dari luar ke dalam dan tak pernah keluar lagi.
Bertahun-tahun kemudian, tepat di tengah Paviliun itu, kutemukan sepokok pohon dengan raut wajahmu.
HUTAN
Apa yang kulihat tentu cuma fatamorgana ketika suatu pagi di musim semi, sebuah hutan putih merembes dari pori-pori aspal yang panas. Tapi kamu yang tak pernah berdusta menaburkan suara ribuan burung di udara untuk membuatku percaya.
“Apa yang kau dengar adalah apa yang kau lihat.”
Tapi aku cuma mendengar 305 hari yang berbeda. Dan jarum jam yang menuju ke segala pejuru.
“Apakah kita bicara soal cuaca?”
Kamu mengangguk senang dan mengulurkan tangan melewati dahan-dahan untuk menangkapi ekor bintang yang melesat lima meter di atas.
“Ini,” katamu, “untuk kau taburkan di sekeliling hutan.”
Maka kita berjalan bersama ke batas di mana semua berakhir. Empat puluh tujuh ke kanan, empat puluh enam ke depan, dan kembali lagi, sambil menaburkan benih bintang yang segera tumbuh jadi kursi-kursi kertas, meja-meja, kembang-kembang dalam pot tanah liat, orang-orang, dan sebilah sayap pesawat.
“Kita akan merawat semuanya dengan baik.”
Tapi bayangan melenting ke barat, sebelum hujan sempat mendarat. Dan kamu tak mau percaya bahwa cerita telah lewat.
“Apakah kita bicara soal cuaca?”
Cuaca adalah sesuatu yang pelik.
Apa yang kulihat tentu cuma fatamorgana ketika awan menghapus semua jadi kosong. Tapi kamu yang tak pernah berdusta menangkap angin dan menjejalkannya di telingaku. Desaunya: “… dulu… dulu…”
© Avianti Armand