Defiant Voices

InterSastra mempersembahkan Defiant Voices, serial dwibahasa yang terdiri dari cerpen, syair, dan esai kreatif yang mengungkapkan suatu kebenaran atau ketidakadilan, walau ditentang oleh penguasa, mayoritas orang, atau kelompok intoleran.

Banyak cara telah digunakan untuk membatasi keleluasaan penulis untuk mengutarakan pikiran atau mempertahankan integritas karya dan visinya. Penulis yang kami terbitkan dalam serial ini bisa jadi menulis buku yang dilarang terbit atau dimusnahkan, tak boleh diluncurkan atau diulas di media, dicabut dari toko buku atau perpustakaan. Mereka bisa jadi pernah ditangkap atau dipenjarakan karena tulisan mereka. Mereka bisa jadi dipecat dari pekerjaan mereka, dilarang memiliki pekerjaan intelektual, atau bahkan terpaksa meninggalkan tanah air demi keselamatan. Kriteria yang kami gunakan untuk menentukan apakah seorang penulis atau suatu karya dapat diikutkan dalam serial ini cukup luwes, antara lain untuk memperlihatkan kepada pembaca bahwa sensor dan pembredelan dapat terjadi dalam berbagai bentuk.

Serial ini akan memunculkan macam-macam alasan yang digunakan untuk memprotes sebuah buku: merusak moralitas, menghina kepercayaan mayoritas, bertentangan dengan narasi yang ditetapkan oleh rezim... Alasan-alasan itu melecehkan kemampuan individu untuk berpikir mandiri dan mencerna sendiri apa yang mereka baca, dan mencerminkan ketakutan akan hadirnya kisah tandingan yang dapat meruntuhkan ketidakadilan yang dianggap baku dan sakral.

Serial Defiant Voices kami terbitkan untuk memperlihatkan keberanian di hadapan tindakan represif dan menunjukkan solidaritas dengan penulis di mana saja yang mengalami penindasan. Kami pun ingin menyumbang perlawanan terhadap pembubaran paksa acara kesenian, pemberangusan buku, serta pengekangan kebebasan membaca dan berdiskusi yang kembali terjadi di Indonesia. Serangan-serangan itu terjadi walaupun sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998, Indonesia telah mengamandemen konstitusi dan mengesahkan berbagai hukum yang menjamin kebebasan berekspresi berikut hak-hak asasi manusia lainnya.

Tak lupa, kami mengadakan diskusi interaktif seputar tiap-tiap karya yang kami terbitkan, terutama di media sosial. Diskusi dimulai dengan sama-sama membaca karya, lalu moderator mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memantik diskusi bersama hadirin atau komunitas maya. Kami memilih format itu untuk mendorong para pembaca untuk selalu berpikir dan membentuk pendapat sendiri. Kami pun ingin membiasakan berdiskusi yang sehat dan belajar dari perbedaan pendapat.

Kami ingin menekankan bahwa semua orang memiliki kebebasan untuk membaca dan menulis. Kami percaya setiap orang dapat membaca dan mempertimbangkan sendiri nilai suatu karya. Kelompok intoleran tak dapat dibiarkan mendikte apa yang boleh atau tak boleh kita baca, tak dapat dibiarkan merumuskan sendiri apa makna nilai-nilai Indonesia. Kami menyatakan solidaritas dengan penulis yang mengalami represi di mana saja dan memuji keberanian mereka untuk terus menulis.

Selamat membaca!

Editor: Eliza Vitri Handayani

Asisten redaksi: Andina Septia

#Defiant_Voices

#InterSastra

UPDATE: Serial ini bersambung ke serial Melawan Represi, yang tidak ingin hanya menerbitkan karya para penulis yang dibredel, tapi juga membuka ruang bagi karya yang menyuarakan kisah orang-orang yang beragam, terutama yang tertindas; kisah yang menyuarakan kebenaran yang dibungkam atau diabaikan; kisah yang mungkin kontroversial tetapi jujur, menumbuhkan empati, mendobrak batasan dan membangun jembatan antara kita.

Vendy Methodos

Vendy Methodos

InterSastra presents Defiant Voices, a bilingual series that consists of short stories, poetry, and creative essays that offer new possibilities to talk about justice and injustice, despite being opposed by the authorities, the majority of people, or intolerant groups.

Many methods have been used to limit the author's ability to express themselves or maintain the integrity of their works and visions. Writers that we publish in this series might have written books that have been banned or challenged, pulled from libraries or bookstores. They may have been arrested or imprisoned because of their writing. They may be fired from their jobs, prohibited from having intellectual jobs, or be forced to leave their homeland. The criteria that we use to determine whether an author or a work can be included in this series are flexible, to show the reader that censorship and silencing can occur in various forms.

The series will show many kinds of arguments that have been used to ban a book: corrupting the nation’s morality, insulting the majority’s beliefs, opposing the regime’s narrative… These arguments insult individuals’ ability to think independently and consider for themselves the value of what they read, and reflect fear of the stories and knowledge that can challenge the status quo’s power and privilege.

We published Defiant Voices to show courage in the face of repression and show solidarity with writers everywhere who experience oppression. We also want to contribute to the resistance to the attacks on free expression, forced disbanding of cultural events, and book banning in Indonesia. The attacks occurred even though since the collapse of the New Order in 1998, Indonesia has amended the constitution and passed various laws that guarantee freedom of expression and other human rights.

We also hold interactive discussions about each of the works that we publish, especially on social media. We ask the audience to read the works first, then the moderator asks questions to spark discussion. We chose that format to encourage readers to always think for themselves and form their own opinions. We also want to encourage healthy discussions, in which we can learn from differences of opinion.

We believe that everyone has the freedom to read and write. We believe everyone can read and consider the value of a work for themselves. Intolerant groups cannot be allowed to dictate what we may or may not read, cannot be left alone to formulate what Indonesian values ​​mean. We express solidarity with writers who experience repression everywhere and praise their courage to continue writing.

Happy reading!

Editor: Eliza Vitri Handayani

Editorial assistant: Andina Septia

UPDATE: This series continues as Unrepressed, which does not only to publish writers whose works have been banned, but also works that tell the stories of those who are oppressed; stories that may be painful or controversial to tell, but are honest and essential to our gaining a fuller understanding of who we are and where we’re going; stories that break down the barriers that divide us, evoke empathy and build bridges instead.


DAFTAR ISI // CONTENT

Richard Westall

Richard Westall

"Malaikat Pemberontak" oleh John Milton

Apa yang terjadi ketika seorang malaikat berani menentang Sang Penguasa Surga, yang dianggapnya adalah seorang tiran?

John Milton merampungkan karyanya yang paling terkenal, Paradise Lost, pada 1663. Epos itu diterbitkan pada 1667, meraih sukses yang luar biasa, dan sampai sekarang sering disebut sebagai salah satu karya bahasa Inggris terbaik sepanjang sejarah. Ia juga menerbitkan Areopagitica, sebuah pidato yang mendukung kebebasan berekspresi dan dipuji sebagai salah satu dokumen terbaik yang mengangkat tema itu. Karya-karya Milton lainnya termasuk History of Britain (1670), Paradise Regained (1671), dan Samson Agonistes (1671).

"Kunanti Datangnya Setan" oleh Mary MacLane

Aku terlalu muda untuk memikirkan damai. Bukan damai yang kuinginkan. Damai untuk mereka yang empat puluh dan lima puluh tahun. Aku menanti Pengalaman. Aku menanti datangnya Setan.

Mary MacLane adalah seorang penulis, feminis, dan pendobrak tabu. Ia menulis memoar dengan gaya pengakuan yang unik, jujur, dan dahsyat. Buku-bukunya berjudul The Story of Mary MacLane (1902), My Friend, Annabel Lee (1903), dan I, Mary MacLane (1917). Berkat bakat dan kerja kerasnya menulis, ia berhasil keluar dari kota asalnya yang terpencil, menjadi penulis yang amat populer, dan hidup sesuai keinginannya.

George Charles Beresford

“Clarissa dan Peter” oleh Virginia Woolf

Nukilan novel yang menggambarkan kasih tak sampai antara Clarissa dan Peter, ketertarikan sejenis antara Clarissa dan Sally (salah satu alasan mengapa novel ini dilarang di beberapa komunitas di Amerika), gangguan psikologis yang diderita Septimus sekembalinya dari medan perang, serta masih banyak lagi.

Virginia Woolf seorang penulis modernis terkemuka yang menghasilkan banyak karya klasik, antara lain To the Lighthouse (1927), Orlando (1928), The Waves (1931), dan A Room of One’s Own (1929) yang menyelidiki perihal perempuan dan kepenulisan.

Harriet_Beecher_Stowe_by_Francis_Holl.JPG

"Orang yang Dianggap Barang" oleh Harriet Beecher Stowe

Nukilan novel yang menggambarkan dengan sangat hidup penderitaan dan ketidakadilan yang dialami para budak.

Harriet Beecher Stowe menulis novel, memoar, serta surat dan artikel. Novelnya yang paling terkenal adalah Uncle Tom's Cabin yang menyuarakan pedihnya kehidupan orang kulit hitam dalam perbudakan. Novel tersebut luar biasa populer dan mengubah pandangan masyarakat Amerika tentang perbudakan.

"Hikayat Cinta" oleh Ak Welsapar

Seorang putra tersiksa antara cintanya kepada ibu dan kekasihnya. Benarkah tak ada cukup ruang dalam hati laki-laki untuk dua perempuan?

Ak Welsapar adalah seorang penulis yang telah menerbitkan lebih daripada 20 buku. Di Turkmenistan, negara asalnya, buku-bukunya dicabut dari toko buku dan perpustakaan, dan dibakar. Ia mesti meninggalkan tanah airnya dan kini bermukim di Swedia. Novelnya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris berjudul The Tale of Aypi.

"Stephen & Angela" oleh Radclyffe Hall

Kisah cinta Nona Stephen Gordon dengan Nyonya Angela Crossby. Kata Stephen kepada Angela: “Jika cinta kita adalah dosa, surga pasti penuh dengan orang-orang yang berdosa seperti kita.”

Radclyffe Hall adalah penyair dan penulis novel the Well of Loneliness (terbit 1928). Novel tersebut dihentikan penerbitannya di Amerika Serikat dan divonis cabul oleh pengadilan Inggris karena mengetengahkan kisah cinta lesbian. Kontroversi itu justru melimpahkan perhatian terhadap novel dan topik tersebut.

"Hatcha-bu" oleh Hamid Ismailov

Setelah suaminya wafat dan anak-anaknya meninggalkannya, Hatcha-bu mengurus cucu-cucunya seorang diri. Suatu hari datanglah seorang pemuda yang mengingatkannya akan masa lalu.

Hamid Ismailov adalah penulis novel the Railway, the Dead Lake, the Underground, dan masih banyak lagi. Ia berasal dari Uzbekistan—di sana semua buku karyanya diberangus dan namanya pun tak boleh disebut. Pada 1992 ia dipaksa mengungsi dari tanah air dan hingga kini tak dapat kembali. Ia tinggal di Inggris dan terus menulis tentang berbagai tema yang hangat di dunia Islam.

"Kairo Kami" oleh Ahmed Naji

Pemuda dua puluhan menikmati masa muda bersama kawan-kawan sehati di Kairo—berpesta dan bercinta di Kairo mereka.

Ahmed Naji dijatuhi hukuman penjara karena tulisannya dalam novel Istikhdam al-Hayah (Using Life atau The Use of Life) dianggap merusak moral pembaca. Tanggal 12 Mei 2016, penulis di berbagai belahan dunia mengadakan acara solidaritas membaca dan mendiskusikan karyanya.

Syair-syair Ashraf Fayadh

darah bisumu takkan bicara
selama kaubanggakan dirimu dalam maut
selama terus kauumumkan, diam-diam, kauletakkan jiwamu
di tangan-tangan mereka yang tak tahu…

Pemerintah Arab Saudi menuduh karya Ashraf Fayadh mempertanyakan agama dan menyebarkan ateisme, lalu menjebloskannya ke penjara. Ashraf Fayadh sendiri membantah tuduhan itu dan mengatakan syair-syairnya adalah tentang kehidupannya sebagai pengungsi Palestina di Saudi.

Eliza HandayaniComment